Jakarta, innews.co.id – Polemik kejelasan ijazah Jaksa Agung ST Burhanuddin seolah menjadi puncak gunung es dari serangkaian masalah yang muncul selama kepemimpinannya.
Perbedaan almamater yang terpampang pada data Kapuspenkum Kejagung dengan versi Instagram Kejaksaan Agung dan Buku Laporan Tahunan Kejagung 2012, telah menjadi buah bibir publik. “Kejanggalan ini harus bisa diungkap, diklarifikasi, dan diberikan bukti-bukti konkrit,” kata Margo Setiawan, pengamat dari Lintasan 66 (Angkatan 66), dalam siaran pers yang diterima innews, Selasa (28/9/2021).
Data Kapuspenkum Kejagung, menyatakan, Jaksa Agung adalah lulusan Universitas 17 Agustus di Semarang (Strata I), Sekolah Tinggi Manajemen Labora di DKI Jakarta (Strata II), dan Universitas Satyagama di DKI Jakarta (Strata III). Sementara versi Buku Laporan Tahunan Kejagung 2012 dan Instagram Kejaksaan Agung dikatakan, ST Burhanuddin adalah lulusan Sarjana Hukum Pidana UNDIP Semarang (tahun 1980), Magister Manajemen UI Jakarta (2001), dan Doktor UI Jakarta (2006).
“Kontroversi ijazah Jaksa Agung harus diclearkan karena sangat fatal untuk seorang pejabat publik. Sebab, tidak menutup kemungkinan ada unsur penggelapan informasi dan kebohongan publik,” tegasnya seraya mencontohkan pelawak Komar saja yang mau jadi Rektor di Perguruan Tinggi Swasta tidak terkenal masuk penjara 2 tahun hanya karena ijazah abal-abal.
Margo beranggapan, baiknya Jaksa Agung dicopot dari jabatannya dan kasus ijazahnya diusut tuntas. Kalau ketahuan ada unsur penipuan atau penggelapan, bisa diusut pidananya.
Sebelum polemik ijazah ini menguak, muncul persoalan lain, di mana majelis hakim Pengadilan Tinggi DKI Jakarta meringankan hukuman Jaksa Pinangki Sirna Malasari dari 10 tahun menjadi hanya 4 tahun pada kasus korupsi pengurusan fatwa di Mahkamah Agung (MA). Diduga putusan yang oleh banyak pihak dinilai mengabaikan rasa keadilan ini banyak dipengaruhi oleh Jaksa Agung, lantaran menjaga kehormatan korpsnya.
Belum lagi perkara Djoko Tjandra, dimana putusan hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi dinilai terlalu lemah, dengan hanya memvonis Djoko Tjandra dengan 4,5 tahun penjara dan denda Rp 100 juta subsider enam bulan, dalam kasus penyuapan Jaksa Pinangki untuk mengurus fatwa bebas di Mahkamah Agung dalam kasus pengalihan hak tagih Bank Bali.
Kasus lainnya, seperti kebakaran Gedung Kejaksaan Agung, 22 Agustus 2020, yang hanya menyeret 5 terdakwa yakni, tukang dan mandor. Pada akhirnya, para rukang hanya dijatuhi hukuman 1 tahun penjara, sementara mandor divonis bebas.
Menurut Margo, berbagai peristiwa yang terjadi mengisyaratkan lemahnya kepemimpinan ST Burhanuddin. “Kita butuh Jaksa Agung yang kuat agar agenda penegakan hukum seperti yang selalu berulang dikatakan Presiden Joko Widodo bisa terealisasi,” tukasnya.
Kembali ke polemik ijazah kesarjanaan ST Burhanuddin, Margo menilai, terlepas mana yang benar, Jaksa Agung telah melakukan aksi yang tidak layak dan tidak patut yaitu, melakukan pembohongan publik dan menciderai kepercayaan rakyat terhadap institusi Kejaksaan. “Saat ini martabat Kejaksaan Agung bak ada di titik nadir. Untuk mengangkat kembali kepercayaan rakyat terhadap institusi penegak hukum tersebut, Presiden Jokowi harus bertindak tegas dengan mengganti Jaksa Agung,” pungkasnya. (RN)
Be the first to comment