
Jakarta, innews.co.id – Bergulirnya wacana hak angket terkait Pemilihan Presiden 2024, harus dikaji mendalam dan dideteksi untung ruginya bagi bangsa ini. Sebab, ada potensi ancaman disintegrasi bangsa bila hal tersebut dipaksakan.
Peringatan tersebut disampaikan pengamat politik dan sosial kemasyarakatan Dr. John N. Palinggi, ketika mengomentari hak angket, di Jakarta, Kamis (29/2/2024). “Pengajuan hak angket adalah hak setiap orang. Namun, perlu dikaji secara detail dan spesifik serta melihat apa manfaatnya. Kalau hanya menghadirkan kehebohan sesaat saja untuk apa? Sebab, hal tersebut bisa melukai anak bangsa yang lain. Bagi yang mengajukan hak angket ternyata tidak ada manfaatnya, sementara pihak yang menolak merasa dizholimi. Ini kan berbahaya bagi kehidupan berbangsa dan bernegara,” urai John Palinggi.
Dia menambahkan, jangan justru kita sibuk saling gugat atau mengajukan hak angket, di sisi lain melahirkan perpecahan anak bangsa. Sebab, kalau ini berkembang, lantas masuk unsur-unsur lain yang menunggangi, bukan tidak mungkin eskalasi membesar, ujungnya pada disintegrasi wilayah.
Memakzulkan Jokowi
Ditanya soal ada rumor upaya memakzulkan Presiden Jokowi, dengan lugas John menanggapi, “Kata ini (memakzulkan) mudah diucapkan, tapi tidak semudah dilaksanakan. Karena dasarnya harus kuat. Setidaknya harus ada 50% yang mengajukan dan 2/3 anggota DPR RI yang memutuskan. Apa itu bisa tercapai? Tidak semudah orang teriak-teriak,” serunya.
Faktanya, kata John, baik Pilpres maupun Pileg 2024 bisa berjalan dengan aman dan damai. Rakyat begitu antusias datang ke TPS untuk memberikan suaranya. Itu cermin demokrasi di Indonesia semakin lama kian baik. Bahkan bisa dikatakan Pemilu 2024 lebih baik dari sebelum-sebelumnya. Itu juga dipuji oleh negara lain. Apakah kekondusifan Pemilu harus dicoreng dengan sikap sebagian orang, baik melalui hak angket atau gugatan hukum terhadap hasil Pilpres? “Dalam Pilpres atau Pileg, menang kalah itu hal yang biasa. Silahkan kalau yang kalah menjadi oposisi. Menurut saya, itu lebih elegan,” cetusnya.
John mengingatkan, jangan sampai kegaduhan di dalam negeri dimanfaatkan oleh pihak-pihak di luar sana untuk kemudian memperkeruh dan muaranya terjadi perpecahan wilayah. “Kalau kondisi demikian, maka rakyat juga yang akan jadi korban. Bila terjadi pergolakan, maka muncul instabilitas dalam negeri, kelangkaan kebutuhan pokok semakin menjadi dan rakyat pun akan sengsara,” paparnya.
Jangan lecehkan MK
Sebagian pihak beranggapan, bila tidak puas dengan hasil Pemilu, jauh lebih baik gugat ke Mahkamah Konstitusi (MK), daripada menggulirkan hak angket. “Munculnya wacana hak angket karena berangkat dari sikap apriori pihak yang mau mengajukan. MK itu lembaga tinggi negara dan salah satu tugasnya menyelesaikan persoalan sengketa Pemilu,” beber Presiden Direktur PT Karsa Mulindo Semesta Group ini.
Dikatakannya, kalau yang digulirkan hak angket untuk menyelesaikan masalah Pilpres, terkesan melecehkan MK. “Kalau kita waras, hargai MK. Silahkan daftarkan gugatan Pilpres ke MK. Itu jauh lebih baik,” pinta Ketua Umum DPP ARDIN ini.
John melanjutkan, kalau sudah keluar real count dari KPU RI, kemungkinan oposisi ada 30% dan sisanya adalah pendukung Presiden-Wapres terpilih. Oposisi, kata John, adalah bagian terhormat bagi pihak yang kalah.
“Di dalam sistem politik, oposisi itu adalah pengkoreksi terhadap kebijakan atau program yang mungkin kurang tepat dari pihak yang berkuasa, sesuai undang-undang. Oposisi bukan mereka yang teriak-teriak di televisi mengkritik pemerintah. Kalau itu cermin politisi yang belum matang,” sergah Ketua Umum Asosiasi Mediator Indonesia (AMI) ini.
Sebab ada jalur dan prosedur resmi untuk mengkritik atau menyampaikan hal yang kurang pas dari pemerintah. “Sah-sah saja kalau mengkritik pemerintah atau presiden, namun dengan tata cara dan jalur yang benar sesuai undang-undang,” pungkasnya. (RN)
Be the first to comment