Jakarta, innews.co.id – Penganiayaan dan pengeroyokan yang dilakukan Napoleon Bonaparte yang tak lain oknum Pati Polri dibantu beberapa tahanan lainnya terhadap Muhamad Kusman atau yang biasa dikenal dengan Muhamad Kece, 26 Agustus 2021 lalu, sekitar pukul 00.30 WIB dinihari, merupakan tindakan biadab.
“Itu tindakan tidak berperikemanusiaan dan main hakim sendiri (Eigenrichting). Sebagai penghuni tahanan, NB telah melakukan tindakan kesewenang-wenangan dengan kekerasan fisik yang mengakibatkan luka berat. Padahal M. Kece sedang diproses kasusnya di Bareskrim Polri dalam dugaan penistaan agama. Perbuatan main hakim sendiri ini tidak dibenarkan secara hukum pidana Indonesia,” kata Dr. Roy Rening, SH, MH., pengamat hukum dan advokat senior yang juga sering melakukan advokasi hukum terhadap kasus-kasus pelanggaran HAM di Indonesia, dalam keterangannya kepada innews, Minggu (26/9/2021).
Roy menambahkan, surat terbuka NB terkesan provokatif untuk mendapat dukungan publik, khususnya umat Islam. “Surat terbuka NB tidak menunjukkan dirinya sebagai pelindung, pengayom, dan pelayanan masyarakat. Bahkan jauh dari cita-cita pendirian Polri,” kata mantan kuasa hukum Tibo cs ini.
Dia menerangkan, tujuan Polri didirikan adalah untuk mewujudkan keamanan, ketertiban, tegaknya hukum, terselenggaranya perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat, serta terbinanya ketentraman masyarakat dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia.
Lebih lanjut Roy menjelaskan, umat Islam di Indonesia sangat dewasa dalam menghadapi isu-isu sensitif seperti ini. Oleh karena itu, sambungnya, para tokoh agama diharapkan bisa mengambil peran positif dalam menciptakan situasi yang kondusif atas permasalahan ini.
“Persoalan M. Kece sudah diproses secara hukum oleh Bareskrim Polri, tidak perlu lagi ada gerakan tambahan. Mari kita percayakan sepenuhnya persoalan ini kepada Polri dalam menegakkan hukum secara adil untuk semua warga negara. Hukum harus berlaku untuk semua orang dan golongan apapun statusnya. Tidak boleh hukum itu hanya berlaku bagi kelompok minoritas saja, sedangkan mayoritas sama sekali tidak tersentuh hukum. Ini persoalan keadilan. Negara harus hadir dan bertindak adil. Tanpa itu persoalan penistaan agama ini tidak pernah akan selesai di Indonesia,” urainya.
Roy juga mendesak Kadiv Propam Polri untuk segera menuntaskan permasalahan ini. “Pembuktian sudah cukup sempurna, pengakuan NB dalam surat terbuka yang mengaku mengeroyok/menganiaya M. Kece, ada 4 saksi yang sudah memberikan keterangannya, dan ada rekaman CCTV atas peristiwa tersebut di Rutan Bareskrim Polri. Dari fakta-fakta ini, sudah cukup bagi penyidik Polri untuk segera melimpahkan perkara ini kepada pihak kejaksaan untuk segera diadili,” tandasnya.
Sementara itu, anggota Polri yang secara nyata-nyata terlibat baik langsung maupun tidak langsung membantu pada saat kejadian tersebut harus diberi sanksi yang cukup berat. Hal ini perlu dilakukan agar dapat memberi efek jera bagi anggota Polri yang melakukan kekerasan/melanggar HAM terhadap anggota masyarakat.
Roy menegaskan, anggota Polri harus menjadi pelindung, pengayom dan pelayanan masyarakat bukan menjadi “preman” dengan cara main hakim sendiri dalam penegakkan hukum. Untuk itu, semua pihak harus menghormati proses hukum ini. Semua pihak harus bisa menahan diri tanpa melakukan tindakan-tindakan yang dapat membahayakan/mengganggu hubungan baik kita sesama warga bangsa. “Janganlah melakukan tindakan kekerasan dengan memakai dalil agama atau dengan maksud membela agama. Serahkan semua melalui proses hukum yang berlaku. Siapa saja yang melakukan penistaan terhadap semua agama yang diakui dan dianut di Indonesia harus segera diadili. Mari kita tunggu sikap adil negara terhadap rakyatnya,” tukas Roy.
Aksi pengeroyokan ini, yang bersangkutan dapat dikenakan Pasal 170 KUHPidana dan Pasal 351 KUHPidana dengan ancaman hukuman 9 tahun penjara. (RN)
Be the first to comment