Oleh : Dr. H. Joni, SH., MH*
———————————————————– SEKURANGNYA ada 79 item perubahan mendasar pada level Undang-Undang, termasuk dalam kaitannya dengan masalah Pengelolaan Mineral dan Batubara (Minerba) yang diadakan perubahan oleh UU Ciptaker. Padahal UU Minerba sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No. 3 Tahun 2020 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 Tentang Pertambangan Mineral Dan Batubara baru saja disahkan pada tanggal 10 Juni 2020. Itu pun masih dalam proses pengujian di Mahkamah Konstitusi. Analisis berikut mencatat bagaimana pengelolaan Minerba yang merupakan potensi alam melimpah di tanah air mengalami pergantian. Sebuah episode baru dalam tata hukum di Indonesia, ketika sebuah UU baru saja disahkan, dipermasalahkan, kemudian diatur kembali dalam UU Ciptaker tanpa dicabut UU Minerba yang baru disahkan itu.
————————————————————-
Misinkronisasi
TIDAK SINKRONNYA arah sentralisasi dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 4 Tahun 2009 Tentang Pertambangan Mineral Dan Batubara dengan semangat desentralisasi dan otonomi daerah dalam Putusan Mahkamah Konstitusi No.10/PUU-X/2012 dan UUD NRI 1945, pada akhirnya berdampak pada pengelolaan lingkungan hidup sebagai konsekuensi sentralisasi kewenangan penyelenggaraan urusan pertambangan berdasarkan Pasal 4 ayat (2) dalam UU tersebut terhadap: perizinan, pembinaan dan pengawasan, dan penegakan hukum termasuk penegakan kegiatan reklamasi dan/atau pasca tambang.
Di dalam UU No. 3 Tahun 2020, terdapat pembagian wilayah dalam usaha pertambangan, yang mana beberapa dari wilayah tersebut telah sebelumnya dikenal dalam UU No. 4 Tahun 2009. Ada pun wilayah tersebut meliputi Wilayah Hukum Pertambangan (WHP), Wilayah Pertambangan (WP), Wilayah Usaha Pertambangan (WUP), Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP), Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR), Wilayah Pencadangan Negara (WPN), Wilayah Usaha Pertambangan Khusus (WUPK), dan Wilayah Izin Usaha Pertambangan Khusus (WUPK). Sayangnya, ICEL mencatat dalam Perubahan UU No. 3 Tahun 2020, pertimbangan lingkungan hidup dalam penetapan maupun perubahan status wilayah menjadi diperlemah.
Wilayah Hukum Pertambangan
Istilah WHP pada dasarnya telah dikenal dalam UU No. 4 Tahun 2009 dan beberapa putusan MK terkait dengan UU No. 4 Tahun 2009. Namun, definisi WHP sendiri baru dikenal dalam Perubahan UU No. 4 Tahun 2009. Dalam UU ini, WHP diartikan sebagai seluruh ruang darat, ruang laut, termasuk ruang dalam bumi sebagai satu kesatuan wilayah yakni, Kepulauan Indonesia, tanah di bawah perairan, dan landas kontinen. Istilah WHP sebelumnya terdapat dalam konsiderans UU No. 4 Tahun 2009.
Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi No. 10/PUU-X/2012 juga telah ditemukan istilah WHP sebagai ruang lingkup penguasaan negara atas bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya. Namun, pertimbangan penyusun UU ketika mencoba mendefinisikan terminologi WHP ini juga tidak terlalu jelas. Naskah Akademik Perubahan UU No. 4 Tahun 2009 yang seharusnya dapat menjelaskan lebih lanjut apa yang dimaksud dengan WHP ini pun belum dapat diakses oleh publik.
Selain itu, dalam salah satu DIM RUU Perubahan UU No. 4 Tahun 2009 versi tahun 2019, disebutkan bahwa adanya WHP ini untuk mengakomodasi agar Pemerintah dapat melakukan kegiatan penyelidikan dan penelitian pertambangan di seluruh wilayah Indonesia Berdasarkan defnisi yang diberikan, cakupan WHP jelas berada pada semua ruang yang ada di bumi. Ada pun konsekuensinya terhadap konteks perencanaan dan perizinan, pembuat UU ingin memberikan penegasan bahwa keseluruhan objek, sejak dari WP dengan skala terluas hingga IUP/IUPB/SIPB dalam skala terkecil, berada dalam lingkup WHP.
Namun demikian, pengaturan konsep WHP ini juga masih saja menyisakan catatan terkait penyusunan dan hubungannya dengan tata ruang. Dalam UU No. 3 Tahun 2020, tidak menyebutkan bagaimana prinsip-prinsip penyusunan WHP dan kaitannya dengan tata ruang. Pasal 6 ayat (1) UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang (UU No. 26 Tahun 2007) menentukan bahwa penataan ruang harus diselenggarakan dengan memperhatikan (a) wilayah yang rentan bencana, (b) potensi SDA, sumber daya manusia, dan
sumber daya buatan, kondisi ekonomi sosial, budaya politik, hukum, pertahanan keamanan, lingkungan hidup, serta ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai satu kesatuan, dan (3) geostrategi, geopolitik, dan geoekonomi. Sangat disayangkan bahwa tidak ada ketentuan yang menyatakan bagaimana posisi dan penetapan WHP di dalam konsep tata ruang nasional, mengingat defnisi WHP yang sangat luas. Hal ini penting untuk ditegaskan karena penataan ruang dan kebijakan penggunaan ruang memiliki peran krusial dalam mengelola trade off antara pemanfaatan ekonomi, perlindungan lingkungan, manfaat sosial demi tercapainya pembangunan berkelanjutan.
Wilayah Pertambangan
WP adalah wilayah yang memiliki potensi mineral dan/atau batubara dan tidak terikat dengan batasan administrasi pemerintahan yang merupakan bagian dari tata ruang nasional. WP merupakan landasan bagi kegiatan pertambangan yang ditetapkan oleh pemerintah setelah ditentukan oleh pemerintah daerah dan berkonsultasi dengan DPR. WP berada dalam wilayah daratan atau wilayah laut, dengan kriteria adanya indikasi formasi batuan pembawa mineral dan/atau batubara atau potensi sumber daya bahan tambang padat/cair Perencanaan WP disusun melalui tahapan pertama, inventarisasi potensi pertambangan yang bertujuan mencari potensi mineral dan/atau batubara, dan kedua penyusunan rencana WP. Ada pun isi dari WP adalah data dan informasi yang memuat: Formasi batuan pembawa mineral logam dan/atau batubara; Data geologi hasil evaluasi kegiatan pertambangan yang sedang berlangsung, telah berakhir, atau telah dikembalikan; Data perizinan hasil inventarisasi perizinan yang masih berlaku, telah berakhir, atau telah dikembalikan; dan Interpretasi penginderaan jauh berupa pola struktur/sebaran litologi.
Hal yang perlu dikritisi dalam pengaturan terkait WP adalah Perubahan UU No. 4 Tahun 2009 mengubah Pasal 9 yang sebelumnya menegaskan bahwa WP sebagai bagian dari tata ruang nasional merupakan landasan bagi penetapan kegiatan usaha pertambangan, menjadi bagian dari WHP. Sebagai bagian dari tata ruang nasional, penetapan WP harus mempertimbangkan keterpaduan dan pemanfaatan ruang yang berkesinambungan berdasarkan daya dukung lingkungan. Konsekuensinya, tata ruang dan kajian lingkungan hidup strategis (KLHS) sebagai instrumen pencegahan dan/atau kerusakan lingkungan menjadi landasan dalam penetapan WP. Pengintegrasian dampak terhadap ekosistem dalam perencanaan ruang, seperti yang tercantum dalam KLHS, sangat penting dan dibutuhkan untuk mencapai kualitas hidup yang mumpuni dan seimbang antara pemanfaatan ekonomi dan perlindungan lingkungan. Penggunaan KLHS pada prinsipnya merupakan kebutuhan pelaku usaha untuk mempertimbangkan aspek sosial, ekonomi, dan lingkungan dari perencanaan ruang, sehingga terdapat kejelasan dan kepastian mengenai apa saja tindakan yang perlu dilakukan untuk menjaga keseimbangan tersebut yang nantinya tertuang dalam kewajiban dalam bentuk izin.
Sayangnya, dalam UU No. 3 Tahun 2020, penegasan bahwa WP merupakan bagian dari tata ruang nasional dihapuskan dan justru diganti dengan WP menjadi bagian dari WHP, yang tidak ada penetapannya terlebih dahulu dan menjangkau seluruh wilayah di Indonesia. Padahal, dalam Pasal 10 ayat (2) Perubahan UU No. 4 Tahun 2009 dijelaskan bahwa WP perlu ditetapkan dengan mempertimbangkan aspek ekologi, ekonomi, hak asasi manusia, sosial budaya, serta berwawasan lingkungan. Oleh karena itu, jika WP menjadi bagian dari WHP yang tidak ada kajiannya terlebih dahulu, maka perlu dipertanyakan instrumen perlindungan lingkungan hidup apa yang dipergunakan untuk memastikan bahwa penetapan WP dapat memperhatikan berbagai aspek tersebut. ***
(BERSAMBUNG)
* Penulis adalah Notaris, Doktor Kehutanan Unmul Samarinda, Pengurus Pusat INI (Ikatan Notaris Indonesia) Universitas Diponegoro, Dosen Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Habaring Hurung Sampit Kalimantan Tengah
Be the first to comment