Peradi Nilai Putusan MK Kekang Independensi dan Kebebasan Advokat Untuk Berserikat

Prof Otto Hasibuan Ketua Umum Dewan Pimpinan Nasional Perhimpunan Advokat Indonesia (DPN PERADI)

Jakarta, innews.co.id – Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor: 91/PUU-XX/2022 yang dibacakan pada Senin, 31 Oktober 2022 lalu itu dinilai tidak memberikan ruang bagi advokat untuk berserikat. Bahkan mengekang independensi advokat. Dikhawatirkan, putusan ini justru akan melanggengkan polemik di tubuh organisasi advokat, bahkan berpotensi menimbulkan kegaduhan.

“Tadinya kita berharap putusan MK
bisa memberikan keadilan bagi seluruh pihak. Tapi yang terjadi justru sebaliknya. Putusan ini menimbulkan polemik dan sangat mencerminkan ketidakadilan. Secara nyata MK melalui putusannya tersebut telah menafikan independensi dan kebebasan berserikat bagi para advokat, karena masa jabatan kepemimpinan di dalam organisasi advokat yang seharusnya ditentukan sendiri oleh para anggota organisasi profesi tersebut, justru dibatasi oleh MK,” kata Prof Otto Hasibuan Ketua Umum Dewan Pimpinan Nasional Perhimpunan Advokat Indonesia (DPN Peradi), dalam siaran persnya yang diterima innews, Kamis (3/11/2022).

Dalam salah satu amar putusannya MK menyebutkan: Menyatakan Pasal 28 ayat (3) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4288) yang menyatakan, ‘Pimpinan Organisasi Advokat tidak dapat dirangkap dengan pimpinan partai politik, baik di tingkat Pusat maupun di tingkat daerah’ bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai ‘Pimpinan organisasi advokat memegang masa jabatan selama 5 tahun dan hanya dapat dipilih kembali satu kali dalam jabatan yang sama, baik secara berturut-turut atau tidak berturut-turut, dan tidak dapat dirangkap dengan pimpinan partai politik, baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah’.

“Putusan MK tersebut sangat keliru dan kabur (Obscuur Libel),” tegas Prof Otto lagi. Alasannya:

1. Dalam putusan tersebut MK menyebutkan “Pimpinan organisasi advokat memegang masa jabatan selama 5 tahun dan hanya dapat dipilih kembali satu kali dalam jabatan yang sama, baik secara berturut-turut atau tidak berturut-turut,… dst”, tetapi tidak ada penjelasan yang menguraikan tentang siapa yang dimaksud dengan “pimpinan organisasi advokat” tersebut. Sedangkan faktanya yang dimaksud dengan Pimpinan Organisasi dalam Peradi terdiri dari Dewan Pimpinan Nasional (DPN) di tingkat pusat, yaitu Ketua Umum, Wakil-wakil Ketua Umum, Sekretaris Jenderal, Wakil-wakil Sekretaris Jenderal, Bendahara Umum, Wakil-wakil Bendahara Umum dan lain-lain, serta Dewan Pimpinan Cabang (DPC) yang tersebar di seluruh wilayah di Indonesia yang dipimpin oleh Ketua, Wakil-wakil Ketua, Sekretaris, Para Wakil Sekretaris, Bendahara, Wakil-wakil Bendahara, dan lain-lain. Selain itu, jika putusan MK tersebut dipaksakan untuk diterapkan, maka akan terjadi kelumpuhan pada kepengurusan OA-OA yang ada saat ini. Karena faktanya, OA-OA tersebut dipimpin oleh kepengurusan yang sudah melewati masa jabatan dua kali periode. Oleh karenanya, baik dalam pertimbangan maupun amar putusan dalam perkara tersebut tidak jelas mengenai siapa sebenarnya yang dimaksud dengan “pimpinan organisasi advokat” yang diatur tentang masa jabatannya, sehingga mengakibatkan putusan tersebut menjadi kabur (obscuur libel) dan tidak dapat dieksekusi (non executable). Oleh karena itu tidak memiliki implikasi yuridis terhadap OA.

2. Putusan MK dianggap melanggar prinsip keadilan karena melanggar asas audi et alterampartem, di mana hakim tidak boleh menerima keterangan dari salah satu pihak saja sebagai pihak yang benar. Hal ini sejalan dengan pendapat berbeda (dissenting opinion) yang disampaikan Hakim Konstitusi Anwar Usman dan Daniel Yusmic P. Foekh dalam putusan tersebut bahwa dalam perkara itu perlu didengar keterangan dari pihak-pihak lain, baik DPR, Pemerintah, maupun pihak rerkait, yang dalam hal ini adalah OA. Tetapi pada kenyataannya MK dalam memeriksa dan menjatuhkan putusan dalam perkara tersebut hanya membaca dan mendengar keterangan dari Pemohon saja dan sama sekali tidak mendengar keterangan dari pihak-pihak yang lain. Padahal sangat jelas bahwa ketentuan peraturan perundangan yang dimohonkan uji oleh Pemohon adalah menyangkut kepentingan OA. Demikian juga tidak ada saksi maupun ahli yang diperiksa terkait permohonan tersebut.

3. Logika berpikir yang menjadi dasar pertimbangan MK dalam menjatuhkan putusan sangatlah keliru karena menganalogikan “kepemimpinan” dalam organisasi profesi (dalam hal ini OA) sebagai suatu bentuk “kekuasaan” yang harus dibatasi dan dikontrol oleh negara, seperti halnya kepemimpinan dalam lembaga aparatur hukum negara (kehakiman, kejaksaan dan kepolisian). Padahal hal tersebut tidaklah benar! Karena kepengurusan dalam suatu OA berlandaskan pada “pengabdian dan pelayanan”, di mana semua pengurusnya tidak digaji, termasuk “pimpinan organisasi” tersebut. Selain itu sumber keuangan OA bukan berasal dari pemerintah, sehingga tidak tepat apabila “kepemimpinan” dalam OA dianggap sebagai “kekuasaan” yang harus dibatasi dan dikontrol oleh negara melalui undang-undang.

4. Dengan dibatasinya masa jabatan pimpinan OA, jelas merupakan bentuk pengekangan yang tidak sah menurut konstitusi, di mana OA bukan dibentuk oleh pemerintah, melainkan oleh para anggota yang terdiri dari para advokat yang mempunyai independensi untuk berserikat sebagaimana dimaksud pada Pasal 28E ayat (3) UUD 1945. Kedaulatan tertinggi dalam organisasi profesi advokat berada di tangan anggota dan anggotalah yang berwenang untuk membuat aturan mengenai organisasinya sendiri, termasuk menentukan dan menyepakati bersama tentang masa jabatan pimpinan organisasi, bukan MK.

Berkaca pada alasan-alasan tersebut, sambung Prof Otto, bisa dikatakan Putusan MK tersebut tidak dapat dilaksanakan (non executable), karena akan mengakibatkan kelumpuhan pada kepengurusan OA-OA yang ada saat ini dan akan menimbulkan kegaduhan yang tidak berkesudahan karena pimpinan-pimpinan organisasi yang jumlahnya tidak sedikit tersebut harus turun dari jabatannya, baik di tingkat pusat/nasional maupun di tingkat cabang/daerah, dan tidak dapat lagi menjadi pimpinan, sehingga kegaduhan tidak mungkin dapat dihindarkan.

“Jadi, sekali lagi Putusan MK Nomor: 91/PUU-XX/2022 tidak memiliki implikasi yuridis terhadap organisasi advokat,” tegas Prof Otto. (RN)

Be the first to comment

Tinggalkan Balasan