Peradi-UKI Gelar Seminar Nasional, Prof Otto Hasibuan: Lindungi HAM Dengan UU TPKS

Jumpa pers Seminar Nasional kerja sama PERADI - UKI yang diadakan secara hybrid, di Jakarta, Kamis (26/1/2033)

Jakarta, innews.co.id – Konstitusi Indonesia jelas-jelas melindungi hak asasi manusia (HAM). Karena itu, negara tidak boleh lepas tangan, termasuk dalan persoalan kekerasan seksual. Oleh sebab itu, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS), perlu lebih disosialisasikan.

Penegasan itu disampaikan langsung oleh Prof Otto Hasibuan Ketua Umum Dewan Pimpinan Nasional Perhimpunan Advokat Indonesia (DPN Peradi) pada Seminar Nasional bertema “Proteksi Diri dari Predator Seksual” yang diadakan kerjasama Peradi dengan Universitas Kristen Indonesia (UKI), secara hybrid, Kamis (26/1/2023).

Suasana Seminar Nasional PERADI – UKI

Kata Prof Otto, munculnya anggapan bahwa negara tidak perlu mencampuri penyelesaian persoalan kekerasan seksual karena harus diselesaikan antar-individu adalah keliru karena UUD menyatakan melindungi HAM. “Persoalan kekerasan seksual sudah ada sejak dahulu kala. Karena itu, kehadiran UU TPKS sangatlah penting, termasuk ekses berlakunya UU itu,” kupas Prof Otto.

Dalam menangani kekerasan seksual, sambung Prof Otto, haruslah memperhatikan korban. “Hak asasi manusia harus diproteksi oleh negara dan negara harus hadir. Karenanya, seminar nasional ini sangat penting sekali,” tambah Prof Otto.

Dalam sambutannya, Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), I Gusti Ayu Bintang Darmawati menegaskan bahwa kekerasan terhadap perempuan dan anak merupakan pelanggaran HAM yang harus dihapuskan.

Suasana Seminar Nasional dengan tema “Proteksi Diri dari Predator Seksual” yang diadakan kerjasama Peradi dengan Universitas Kristen Indonesia (UKI), secara hybrid, Kamis (26/1/2023)

Secara gamblang, Bintang mengungkapkan hasil survei pengalaman hidup perempuan nasional tahun 2021, di mana 1 dari 4 perempuan usia 15-64 tahun, mengalami kekerasan fisik dan atau seksual yang dilakukan pasangan dan selain pasangan selama hidupnya.

“Bahkan prevalensi kekerasan seksual oleh selain pasangan dalam setahun terakhir meningkat dari 4,7% pada 2016, menjadi 5,2% pada tahun 2021,” ungkapnya.

Diuraikan, hasil survei nasional pengalaman hidup anak dan remaja tahun 2021, yakni 4 dari 100 anak laki-laki usia 13–17 tahun di perkotaan, pernah mengalami kekerasan seksual dalam bentuk kontak maupun nonkontak di sepanjang hidupnya. Sementara di perdesaan, prevalensinya sebanyak 3 dari 100 anak laki-laki. “Bagi anak perempuan yang tinggal, baik di perkotaan bahkan perdesaan, prevalensinya bahkan 2 kali lipatnya anak laki-laki, yaitu 8 dari 100,” katanya.

Bintang menilai, angka-angka tersebut merupakan fenomena gunung es, yakni jumah korban dan kasus kekerasan seksual yang sebenarnya terjadi jauh lebih tinggi daripada yang dilaporkan.

“Keadaan ini harus menjadi perhatian kita semua karena dampak yang ditimbulkan kepada korban mengakibatkan penderitaan fisik, mental, kesehatan, ekonomi, dan juga sosial,” pintanya.

Oleh karena itu, kata Bintang, lahirnya UU 12 Tahun 2022, merupakan suatu bukti bahwa negara sangat berupaya melindungi rakyatnya. Ia berharap semua mengawal implementasi UU tersebut demi terciptanya lingkungan yang aman dan bebas dari tindak kekerasan seksual.

Pada bagian lain, Rektor UKI, Dr. Dhaniswara K. Raharjo, menyebutkan, salah satu indikator kekerasan seksual adalah adanya pemaksaan. Siapapun, baik perempuan atau laki-laki harus berani melawan. “Jadi kalau merasa tidak nyaman, tentu harus berani menyatakan tidak dan melaporkan kepada pihak yang berwenang,” tukasnya.

Rektor UKI berterima kasih kepada Peradi pimpinan Prof Otto atas terselenggaranya seminar nasional ini. “Saya yakin seminar nasional ini akan bermanfaat bagi masyarakat, bangsa, dan negara,” pungkasnya. (RN)

Be the first to comment

Tinggalkan Balasan