Perjuangan PERADI-SAI Tuntas, Pasal 282 RUU KUHP Positif Ditake-out

Kuasa Hukum KSP Indosurya Cipta, Juniver Girsang

Jakarta, innews.co.id – Kepastian ditake-out-nya Pasal 282 Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RUU KUHP) terasa melegakan advokat di Indonesia. Namun demikian, bukan berarti para advokat bisa sebebas-bebasnya dalam bekerja. Melainkan harus tetap profesional dan memegang teguh kode etik profesinya.

Hal tersebut dikatakan Dr. Juniver Girsang Ketua Umum Dewan Pimpinan Nasional Perhimpunan Advokat Indonesia (DPN Peradi) Suara Advokat Indonesia (SAI) dalam keterangan resminya kepada innews, Rabu (20/10/2021). “Kita tentu bersyukur apa yang didengungkan dan diperjuangkan Peradi-SAI selama ini berbuahkan hasil. Kami sudah menyampaikan keberatan terhadap Pasal 282 tersebut secara resmi dalam Webinar Nasional, 19 Agustus 2021 lalu, yang dihadiri Anggota Komisi III DPR Arteria Dahlan dan Wakil Menteri Hukum dan HAM, Edward Omar Sharif Hiariej dan para stakeholders lainnya,” kata Juniver.

Dalam perkembangannya, lanjut Juniver, Peradi-SAI juga membentuk Tim Pengkaji RUU KUHP yang beranggotakan Patra M. Zen, T Mangaranap Sirait, Henry P. Siahaan, Subagio Sriutomo, dan Andi Simangunsong. “Dari hasil kajian tim tersebut, memang meminta agar Pasal 282 tersebut dicabut atas dasar pertimbangan yuridis, sosiologis, dan praktis. Kami sampaikan hal tersebut kepada pemerintah,” terangnya.

Tidak itu saja, secara aktif Peradi-SAI mensosialisasikan bahaya kriminalisasi profesi advokat dalam RUU KUHP dan meminta cabang-cabang untuk menyurati pemerintah terkait pencabutan pasal tersebut

Juniver bersyukur, pemerintah merespon baik hasil kajian Tim Peradi-SAI. Wakil Menteri Hukum dan HAM telah menyampaikan bahwa tim perumus telah memutuskan mentake-out pasal tersebut. “Ini adalah kabar baik untuk semua advokat di Indonesia. Apa yang kita perjuangkan akhirnya berbuahkan manis,” tukas Juniver.

Dengan dihapusnya Pasal 282 tersebut, maka advokat tidak lagi tersandera, sehingga tak lagi khawatir bisa dikriminalkan dalam menjalankan profesinya. “Di banyak negara, profesi advokat itu tidak bisa digabung dengan yang lain. Melainkan harus ada kekhususan. Karena itu, terkait advokat kan sudah ada UU Advokat No 18 Tahun 2003 tentang Advokat,” ungkapnya.

Namun demikian, Juniver berharap para advokat bisa benar-benar bekerja profesional dan memegang teguh kode etik profesinya. “Sudah menjadi rahasia umum, banyak pencari keadilan mendapat ‘perlakuan’ tidak mengenakan dari advokat. Ini menjadi tugas kita bersama untuk membenahinya,” tukasnya.

Sebagai informasi, Pasal 282 RUU KUHP mengatur ancaman pidana penjara paling lama 5 tahun atau denda paling banyak kategori V (Rp500 juta) advokat yang dalam menjalankan pekerjaannya secara curang: mengadakan kesepakatan dengan pihak lawan klien, padahal mengetahui atau sepatutnya menduga bahwa perbuatan tersebut dapat merugikan kepentingan pihak kliennya; serta mempengaruhi panitera, panitera pengganti, juru sita, saksi, juru bahasa, penyidik, penuntut umum, atau hakim dalam perkara, dengan atau tanpa imbalan. (RN)

Be the first to comment

Tinggalkan Balasan