Jakarta, innews.co.id – Penerapan restorative justice harus didukung dengan adanya Undang-Undang. Selain itu, perlu penguatan para advokat. Salah satunya dengan meningkatkan kualitas para advokat.
Hal tersebut mengemuka pada webinar bertajuk “Mekanisme dan Strategi Penyelesaian Perkara Melalui Restorative Justice Berdasarkan Peraturan Perundang-Undangan dan Sistem Peradilan Pidana Terpadu (SPPT) di Indonesia” yang diadakan oleh Dewan Pimpinan Cabang (DPC) Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) Jakarta Barat, Selasa, 27 Juli 2022.
“Webinar ini merupakan salah satu wujud komitmen pihaknya untuk meningkatkan kualitas para advokat, terkhusus DPC Peradi Jakbar. Ada lebih dari 500 peserta yang begitu antusias mengikuti acara ini, baik dari advokat Peradi, mahasiswa, dan umum,” terang Ketua DPC Peradi Jakarta Barat (Jakbar), Suhendra Asido Hutabarat SH., SE., MM., MH., dalam keterangan persnya, di Jakarta, Selasa (26/7/2022).
Asido Hutabarat menambahkan, pihaknya secara terus menerus melakukan pendidikan berkelanjutan, melakukan webinar, bahkan juga melaksanakan webinar internasional juga, melibatkan pemateri dari luar negeri.
Dalam paparannya, Dr. Nikolas Simanjuntak, Ketua Bidang Kajian dan Perundang-Undangan DPN Peradi, akademisi, praktisi, dan penulis buku mengatakan, idealnya memang harus ada undang-undang. Namun, untuk membuat UU membutuhkan waktu relatif lama.
“Saat ini KUHP belum mengatur soal restorative justice. Untuk itu, pemerintah dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) KUHP sudah memasukkannya,” kata Nikolas.
Dia menambahkan, meski KUHP belum mengatur, namun penegak hukum, yakni, Polri, Kejaksaan, dan Pengadilan bisa melakukan restorative justice, mengacu pada ketentuan UUD 1945 serta ketentuan peraturan masing-masing lembaga.
“Dasarnya itu UUD. Sekarang ada Perkap (Peraturan Kapolri), Perja (Peraturan Jaksa Agung). Perkap ini bagian dari peraturan perundang-undangan karena dalam Pasal 8 bahwa pejabat yang berwenang sesuai dengan wewenang yang diberikan, berhak mengeluarkan peraturan. Di situ letaknya untuk melaksanakan UU HAM, UU Polri,” bebernya.
Diuraikannya, berdasarkan Pasal 8, 70, dan 71 UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM) bahwa tanggung jawab negara harus dilakukan oleh pemerintah. Artinya, kalau tidak dilakukan, salah. Restorative justice tadi dasarnya UU, Polisi wajib menjunjung HAM itu, kemudian UU HAM. Polisi jangan ragu-ragu melaksanakan restorative justice.
Sementara itu, Head of Business Law Department Binus University, Dr. Ahmad Sofian, menyampaikan, satu-satunya UU yang memberikan definisi yang holistik tentang restorative justice, itu ada di dalam UU Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, yakni pada Pasal 1 angka 6.
Menurutnya, perlu UU yang lebih tegas karena jika restorative justice sudah dilakukan, keputusannya belum berkekuatan hukum tetap (inkracht). Polri menghentikan suatu kasus dengan menerbitkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3), sedangkan jaksa menerbitkan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan (SKP2).
“SP3 polisi dan penghentian penuntutan (SKP2) bisa dipraperadilankan, tidak ada kepastian hukum, sehingga harus ada UU,” ujarnya.
Pada kesempatan itu, Kasubbid Sunluhkum Bidkum Polda Metro Jaya, AKBP Adri Desas Furyanto, menyampaikan, Presiden Joko Widodo telah mencanangkan restorative justice dan Kapolri menyambutnya dengan menerbitkan Peraturan Polri (Perpol) Nomor 8 Tahun 2021 tentang Penanganan Tindak Pidana Berdasarkan Keadilan Restoratif.
Ketua Bidang Pendidikan Berkelanjutan dan Pengembangan Advokat Dr. Desnadya Anjani Putri, SH., S.IKom., MH., selaku moderator, menyimpulkan bahwa agar pelaksanaan restorative justice di Indonesia dapat terlaksana dengan baik, maka penegak hukum harus memiliki pengetahuan yang baik terkait upaya penyelesaian perkara melalui restorative justice. (RN)
Be the first to comment