Jakarta, innews.co.id – Langkah pemerintah untuk meratifikasi perjanjian Flight Information Region (FIR) dengan Singapura melalui Perpres dinilai kurang tepat. Ini arena perjanjian FIR tidak hanya mengatur hal teknis, tetapi juga terkait erat dengan kedaulatan negara.
Penegasan ini disampaikan politisi Partai Golkar yang juga Anggota Komisi I DPR RI Christina Aryani, dalam keterangan persnya di Jakarta, Sabtu (19/2/2022). “FIR walaupun mengatur hal teknis, juga terkait erat dengan kedaulatan dan karenanya membutuhkan persetujuan DPR dalam pengesahannya. Tidak tepat ratifikasi melalui Perpres,” ujar Christina yang berasal dari dapil DKI Jakarta II ini.
Dia menambahkan, perjanjian FIR dengan Singapura harus diratifikasi melalui undang-undang dan persetujuan DPR.
Lebih jauh Christina mengatakan, Pasal 10 UU Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional mengatur jenis-jenis perjanjian internasional yang harus disahkan dengan undang-undang dan membutuhkan persetujuan DPR. “Perjanjian-perjanjian tersebut ditentukan berdasarkan materi yang diaturnya dan bukan nama atau nomenklaturnya,” ungkap Christina.
Dia menguraikan, Mahkamah Konstitusi melalui Putusan Nomor 13 Tahun 2018 telah memutuskan Pasal 10 UU Nomor 24 Tahun 2000 inkonstitusional bersyarat sepanjang ditafsirkan hanya jenis-jenis perjanjian dalam Pasal 10 itu saja yang membutuhkan persetujuan DPR.
“Apalagi sampai saat ini pemerintah belum pernah menjelaskan secara transparan dan komprehensif kepada DPR apa yang menjadi alasan pendelegasian kembali pengelolaan FIR pada Singapura untuk ketinggian 0-37.000 kaki pasca penandatanganan perjanjian. Ini kami di DPR perlu kejelasan,” sergahnya.
Secara mendasar, Komisi I DPR menyambut baik keberhasilan pemerintah dalam mengambil pengendalian FIR dari Singapura. Namun, DPR mempertanyakan soal pendelegasian pengelolaan FIR tersebut kepada Singapura. “Jelas ini menimbulkan pertanyaan bagi kami. Terlebih Pasal 458 UU Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan mengamanatkan wilayah udara yang pelayanan navigasi penerbangannya didelegasikan kepada negara lain harus dievaluasi dan dilayani oleh lembaga Indonesia paling lambat tahun 2024.
“Jadi banyak sekali hal butuh penjelasan dari pemerintah. Dan karena itu tidak bisa serta merta terbit Perpres tanpa melibatkan proses di DPR yang adalah representasi rakyat,” pungkas Christina. (RN)
Be the first to comment