“Putusan MA terkait batas usia Cagub-Cawagub bersifat komprehensif dan progresif serta mencerminkan upaya untuk bangkit dari kegagalan. Serta merupakan bentuk kebebasan berdemokrasi yang baik sebagai kedaulatan rakyat dengan tidak menyalahgunakannya sebagai alat berpolitik untuk kepentingan sesaat dengan perimbangan konsep nomokrasi, yaitu dengan mengatasinya melalui kedaulatan norma atau kedaulatan hukum yang dilakukan melalui judicial review demi kepentingan masyarakat banyak”.
Jakarta, innews.co.id – Putusan Mahkamah Agung (MA) yang membatalkan PKPU No 9 Tahun 2020 kian menarik. Istilah progresif yang dipopulerkan mantan Hakim Agung RI Prof Gayus Lumbuun mendapat reaksi keras dari mantan Menko Polhukam, Mahfud MD, baik di media online maupun media sosial.
Berbanding terbalik, Mahfud menyebut putusan MA tersebut destruktif atau bertentangan.
“Pemikiran Pak Mahfud MD yang mengatakan bahwa Putusan MA sebagai hal yang destruktif dan menyesatkan publik merupakan kehendaknya sendiri yang berbeda dengan sifat progresifnya putusan MA tersebut. Pemikiran tersebut juga hanya didasarkan pada suatu asumsi bahwa aturan itu hanya menguntungkan individu-individu atau orang tertentu saja,” kata Prof Gayus, dalam keterangan persnya, di Jakarta, Selasa (4/6/2024).
Hal tersebut juga, kata Prof Gayus, akan semakin kuat kalau dibaca secara politik praktis, di mana ada kecurigaan untuk meloloskan orang tertentu, apalagi terhadap lawan politik, maka penilaian tersebut menjadi sangat subjektif dan konservatif.
Pakar hukum Prof Gayus menerangkan, progresif bermakna demokratis, responsif, dan adil. Sedangkan destruktif dimaknai merusak. “Argumentasi bagi karakter putusan progresif didasarkan pada pemikiran bahwa Peraturan KPU menempatkan usia sebagai bagian dari persyaratan seseorang mendaftar sebagai calon,” jelas Prof Gayus.
Pada bagian lain, persyaratan waktu pendaftaran sebagai calon “mempersempit” atau menutup peluang dan kesempatan “bagi penduduk/warga negara” untuk terlibat atau berpartisipasi. Harus diingat, kata Prof Gayus, membatasi warga untuk terlibat dalam hak menjadi indikator dari regulasi yang kurang berkarakter demokratis.
Dia menambahkan, Konstitusi mensyaratkan usia dalam jabatan, bukan sebagai calon. Misalnya, untuk syarat usia yang diatur dalam UUD 1945, sebagaimana tercermin pada Pasal 6 ayat (2) UUD 1945 yang mengamanatkan syarat-syarat untuk menjadi Presiden dan Wakil Presiden sebagai jabatan dan bukan mengatur perihal syarat calon presiden maupun syarat calon wakil presiden.
“Dalam konteks persyaratan Calon Gubernur-Wakil Gubernur, maka persyaratan ketika pelantikan lebih mendekati norma yang diatur dalam Konstitusi serta lebih membuka ruang dan memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada warga negara sehingga bersifat demokratis, komprehensif, dan responsif,” imbuh Prof Gayus.
Ada kebutuhan
Diterangkannya, di satu sisi ada kebutuhan untuk melihatnya secara komprehensif dan progresif, bukan semata-mata untuk kepentingan politik jangka pendek. Kehadiran sistem judicial review baik terhadap UU yang ada pada Mahkamah Konstitusi (MK) maupun Peraturan Perundang-undangan dibawah UU yang menjadi kewenangan MA merupakan solusi konstitusional terhadap kelemahan peraturan perundang-undangan yang ada saat ini dalam menghadapi dinamika kehidupan ekonomi, politik, sosial, dan budaya.
Tujuannya, masih kata Prof Gayus, tidak lain adalah hukum atau peraturan perundang-undangan yang ada tidak menjadi penghalang dalam menciptakan keadilan saat ini dan ditunda di kemudian hari setelah atau menunggu proses revisi oleh Pemerintah dan DPR yang biasanya menunggu waktu yang lama.
“Saya berharap kita semua berada pada satu pemikiran yang sama bahwa baik putusan MK maupun putusan MA merupakan solusi hukum terhadap upaya menghadirkan keadilan dalam masyarakat yang tidak tertampung dalam hukum atau peraturan perundang-undangan yang tertulis saat ini dan harus menunggu perubahan atau revisi peraturannya,” urainya.
Dan, harus diakui bahwa itulah salah satu ciri pokok kekurangan dari hukum tertulis yaitu, tertinggal dari dinamika kehidupan masyarakat. Bahkan ada yang berpendapat, bahwa hukum tertulis itu, pada dasarnya sudah tertinggal dari kebutuhan masyarakat sejak pada hari ditetapkan atau diundangkannya.
Kesempatan terbuka
Lebih jauh Prof Gayus membeberkan, Putusan MA memberi kesempatan secara luas, khususnya kaum muda yang layak untuk menjadi pemimpin daerah, namun terkendala usia dengan batasan pada saat pendaftaran dan penetapan yang tentu akan menjadi lebih luas sebagaimana putusan MA tersebut dihitung usia calon Pimpinan Daerah pada saat dilantik.
Adapun UU No. 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota pada Pasal 7 huruf e tidak mencantumkan batas sejak pendaftaran/penetapan ataupun dihitung sejak pelantikan. Namun KPU RI melalui PKPU No. 9 Tahun 2020 Pasal 4 huruf d menetapkan batas usia calon sejak penetapan. Untuk inilah MA dengan kewenangannya melakukan judicial review memutuskan bahwa batasan usia dihitung sejak pelantikan pasangan calon terpilih. Hal inilah yang dengan jelas menunjukkan perluasan kesempatan sebagai keadilan bagi seluruh masyarakat yang menjadikan Putusan MA ini disebut progresif.
Dengan lugas, Prof Gayus membeberkan pengertian berpikir secara progresif yakni:
1. Belajar dari kesalahan
2. Melakukan evaluasi diri
3. Bangkit dari kegagalan.
Sementara destruktif dapat diartikan sebagai sifat perilaku yang cenderung mengganggu kelancaran proses, tidak berfaedah, mengarah kepada dasar pikiran yang negatif, bahkan cenderung mengarah pada suatu konflik atau pertentangan.
“Pemikiran tentang melawan sifat progresif adalah suatu sifat konservatif yang selalu mengkritik saingan mereka dan membuat alasan yang didasarkan kepada apa yang mereka anggap benar dan diinginkan yang ditopang oleh kumpulan sentimen dan tidak disertai dengan dogma ideologis,” tegas Prof Gayus.
Dengan uraian sistematis terkait Putusan MA yang dinilai progresif, Prof Gayus mempertanyakan, lantas dimana pemikiran Mahfud MD, yang justru berkata sebaliknya? (RN)
Be the first to comment