Jakarta, innews.co.id – Sejatinya, keberadaan justice collaborator (JC) merupakan transplantasi hukum dari Amerika Serikat. JC pertama kali diperkenalkan di Amerika Serikat sekitar tahun 1970-an yang pada umumnya digunakan untuk perkara-perkara tindak pidana korupsi (Tipikor) atau money laundering. Ini dimaksudkan agar pengembalian kerugian negara yang dikorupsi dapat dilakukan secara maksimal.
Secara pemaknaan, JC merupakan sebutan bagi pelaku kejahatan yang bekerjasama dalam memberikan keterangan dan bantuan bagi penegak hukum.
Di Indonesia, JC selain digunakan untuk perkara tipikor, juga untuk pidana umum. Salah satunya terkait kasus pembunuhan Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat alias Brigadir J yang diotaki oleh Ferdy Sambo. Pada kasus tersebut, oleh Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), Brigadir Richard Eliezer Pudihang Lumiu atau Bharada E ditetapkan sebagai JC, dengan tujuan agar pengungkapan kasus ini bisa lebih terang benderang.
Akan tetapi, Jampidum dalam statementnya menilai, Eliezer tidak pas sebagai JC karena dirinya juga termasuk eksekutor Brigadir J. Dalam hal ini sebagai pelaksana perintah dari Ferdy Sambo selaku pemberi perintah. Tak heran, Jampidum menolak merevisi tuntutan yang disampaikan jaksa penuntut umum (JPU) kepada Bharada E, yakni 12 tahun penjara.
Menanggapi hal tersebut, Prof Gayus Lumbuun mantan Hakim Agung 2011-2018 menjelaskan, “JC merupakan bentuk transplantasi hukum yang digunakan di Amerika Serikat. Di negeri Paman Sam itu, JC umumnya digunakan untuk perkara-perkara tindak pidana korupsi,” ungkap Prof Gayus, dalam keterangan persnya, di Jakarta, Minggu (12/2/2023).
Di Indonesia istilah JC muncul pertama kali dalam Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 4 Tahun 2011 tentang Perlakuan Bagi Pelapor Tindak Pidana (Whistleblower) dan Saksi Pelaku yang Bekerjasama (Justice Collaborator) di dalam Perkara Tindak Pidana Tertentu.
Dalam SEMA tersebut dikatakan, yang dimaksud tindak pidana tertentu adalah tindak pidana korupsi, terorisme, tindak pidana narkotika, tindak pidana pencucian uang, perdagangan orang, maupun tindak pidana lainnya yang bersifat terorganisasi. SEMA tersebut dikeluarkan karena ketidakjelasan penerapan Pasal 10 UU No. 13 Tahun 2006 yang mengatur perlindungan saksi dan korban.
Dalam Pasal 10 ayat (2) UU 13/2006 jelas dikatakan, “Seorang Saksi yang juga tersangka dalam kasus yang sama tidak dapat dibebaskan dari tuntutan pidana apabila ia ternyata terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah, tetapi kesaksiannya dapat dijadikan pertimbangan hakim dalam meringankan pidana yang akan dijatuhkan”.
Istilah JC kembali muncul pada UU No. 31 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban.
“Saat ini, ada kerancuan terkait penetapan JC di Indonesia. Karena ada tiga lembaga yang bisa menentukan JC yakni, penyidik, jaksa, dan LPSK. Ini membuat kebingungan tersendiri,” kata Prof Gayus.
Untuk itu, Prof Gayus mengusulkan dibentuk lembaga khusus Justice Collaborator. “Tidak tepat kalau JC diatur oleh LPSK. JC itu bukan saksi, tapi seorang tersangka yang kemudian menjadi terdakwa, yang bekerja sama dengan penegak hukum dalam pengungkapan suatu kasus dengan terdakwa lainnya. Dengan kata lain, status JC itu bukan saksi, tapi tetap tersangka/terdakwa yang memberikan kesaksian. Status utamanya adalah tetap tersangka/terdakwa. Selain itu, tidak ada transplantasi hukum yang melekatkan JC dalam UU LPSK. Karena LPSK itu tugasnya hanya memberi memberi perlindungan hukum kepada saksi dan korban,” tandasnya.
Oleh karenanya, sambung Prof Gayus, adalah tepat bila JC ditentukan oleh suatu lembaga khusus. Fungsi lembaga tersebut adalah menilai seseorang layak atau tidak menjadi JC, baik untuk kasus Tipikor maupun pidana umum. Karena LPSK itu pada dasarnya hanya lembaga yang fokusnya pada perlindungan saksi dan korban, bukan menentukan seorang menjadi JC.
Sebab faktanya, tidak sedikit JC yang dibatalkan oleh hakim karena dinilai tidak sesuai dengan kebutuhan atau pengungkapan substansi perkara. Buktinya, Putri Candrawati yang ditolak oleh LPSK untuk menjadi JC.
Prof Gayus menambahkan, jika di kasus tipikor, JC berperan untuk mengembalikan kerugian negara secara maksimal, maka keberadaan di JC di perkara pidana umum haruslah memiliki kemanfaatan. “Kalau tidak ada manfaatnya untuk apa keberadaan seorang JC? Saya hanya melihat dari aspek manfaatnya saja,” tukasnya.
Apakah Bharada E memiliki kemanfaatan dalam mengungkap kasus pembunuhan Brigadir J? “Dalam perkara Tipikor, seorang JC yang juga sebagai tersangka/terdakwa haruslah lebih dulu mengembalikan seluruh uang korupsinya. Baru ia bisa menjadi JC untuk terdakwa lainnya. Itu artinya, seorang JC haruslah mempertanggungjawabkan dulu perbuatannya. Jadi, seorang JC tidak lantas bisa lepas dari apa yang diperbuatnya,” tegasnya.
Bila dikomparasi dengan kasus Brigadir J, kemanfaatan apa dari keberadaan Bharada E sebagai JC? “Bila dalam kasus Tipikor, seorang JC, selain wajib mengembalikan seluruh korupsinya, juga bisa membantu membuka tabir hukum bagi terdakwa lain. Nah, apa yang bisa dikembalikan oleh Bharada E, terkait perbuatannya (delictum) sebagai pelaku penembakan pertama Brigadir J? Karenanya, perbuatan Bharada E itu harus dihitung dulu dalam bentuk vonis hukuman, baru bisa menjadi JC bagi terdakwa lainnya,” paparnya.
Ditegaskannya lagi, kalau sudah ditentukan hukumannya, maka JC bisa menjadi saksi mahkota untuk terdakwa lainnya, dalam pengungkapan sebuah kasus.
Lebih jauh Prof Gayus mengatakan, “Nanti hakim yang akan menilainya. Sebab dalam perkara ini, Bharada E, yang menurut Jampidum, merupakan pelaku penembakan pertama sebanyak 4 kali. Jadi, biar hakim yang akan menilai berdasarkan legal justice (keadilan hukum) sebagai dasar pertimbangan tertinggi,” serunya.
Lanjut Prof Gayus, masyarakat harus memahami bahwa keberadaan Bharada E sebagai JC tidak lantas membuat publik memiliki ekspektasi besar bahwa dirinya akan dihukum seringan-ringannya, bahkan dibebaskan dari hukuman. Sebab, tidak bisa dinafikan bahwa dalam perkara tersebut Eliezer juga menjadi pelaku penembakan pertama.
“Menjadi seorang JC tidak lantas taken for granted (seutuhnya) bahwa seseorang (apalagi pelaku) bisa lolos dari hukuman. Ini harus dipahami oleh masyarakat. Mungkin saja hukumannya berkurang, tapi tidak hilang sama sekali,” urainya.
Terkait pembentukan lembaga khusus Justice Collaborator, Prof Gayus menambahkan, perlu dibuat undang-undang khusus sehingga dengan dasar hukum tersebut, keberadaan JC bisa lebih jelas. “Dengan UU terkait lembaga khusus Justice Collaborator tersebut, maka JC bisa dipakai untuk semua jenis perkara, baik pidana, perdata, maupun Tipikor,” pungkasnya.
Prof Gayus berharap pemerintah dan DPR bisa menaruh perhatian terhadap pembentukan lembaga khusus Justice Collaborator ini mengingat persoalan hukum yang semakin kompleks, utamanya dalam pengungkapannya kasus-kasus yang terjadi. (RN)
Be the first to comment