Oleh : Yohana Defrita Rufikasari, S.Si.Teo*
UNGKAPAN “Quo Vadis?” barangkali bukanlah sesuatu yang asing di telinga kita. Sebenarnya, “Quo Vadis” adalah sebuah kalimat dari bahasa Latin yang diterjemahkan secara harafiah yang berarti “kemana kamu pergi?” Kalimat ini adalah terjemahan Latin dari petikan bagian apokrif kisah Rasul Petrus, yaitu, “Tuhan, kemana Engkau pergi?” Kalimat tersebut merupakan ungkapan Kristiani yang menurut tradisi gereja dilontarkan pada Yesus Kristus oleh Rasul Petrus yang saat itu bertemu dengan Yesus.
Rasul Petrus saat itu dalam perjalanan hendak melarikan diri dari sebuah misi berisiko disalibkan di Roma. Yesus kemudian menjawab, “Aku hendak kembali ke Roma untuk disalibkan kembali” (Venio Romam iterum crucifigi) yang akhirnya membuat Rasul Petrus sadar akan panggilannya dan berbalik ke Roma dan disalibkan terbalik.
Maka saat ini saya bertanya kepada gereja, “Kemana kamu pergi ketika jemaat GKI Bapos Taman Yasmin sedang berjuang memperoleh keadilan?” Pertanyaan ini menjadi krusial, sebab bukankah semestinya gereja mewujudkan bela rasa kepada mereka yang tertindas? Namun kenyataannya, pada Minggu, 13 Juni 2021, gereja menerima akta hibah tanah yang diklaim sebagai sebuah solusi dan prestasi dalam penyelesaian kasus GKI Bapos Taman Yasmin. Sambutan penuh rasa syukur segera bergulir di segala lini media sosial. Gegap gempita ini membuat sebagian besar dari kita lupa untuk mendengarkan suara korban. Seolah hendak menegaskan bahwa sejarah dicatat oleh mereka yang memiliki kuasa.
Tak banyak yang mau repot-repot menelaah lebih dalam karena bisa jadi sebagian besar dari kita memiliki mental seperti Rasul Petrus yang hendak melarikan diri dari risiko yang berpotensi membahayakan diri sendiri. Gereja nampaknya lebih memilih jalan yang dianggap “win-win solution”. Padahal tidak semua persoalan, apalagi ketika terkait ketidakadilan, dapat diselesaikan dengan model “win-win solution”.
Hal lain yang menarik bagi saya adalah ketidakmautahuan sebagian besar orang bahwa sudah ada putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia 127/TUN/2009 tertanggal 9 Desember 2010, yang telah berkekuatan hukum tetap, ditambah lagi dengan Rekomendasi Wajib Ombudsman RI, tertanggal 21 Oktober 2011 terhadap status GKI Bapos Taman Yasmin. Sayangnya, sampai hari ini tidak dilakukan oleh Wali Kota Bogor sehingga segel ilegal yang dipasang oleh Pemkot Bogor pada bangunan GKI Bapos Taman Yasmin di JL. KH. Abdullah bin Nuh Kav. 31, Taman Yasmin Bogor masih dibiarkan terpasang, hingga tulisan ini Anda baca.
Maka dengan demikian serah terima akta hibah tanah yang dilakukan oleh Wali Kota Bogor kepada gereja bukanlah tindakan hukum seperti yang diperintahkan oleh Mahkamah Agung dan Ombudsman. Itu sebabnya, jemaat GKI Bapos Taman Yasmin menolak hibah tanah yang berarti sama dengan menolak relokasi. Relokasi bukanlah solusi bagi mereka yang mengalami ketidakadilan. Solusi adil bagi jemaat GKI Bapos Taman Yasmin adalah Pemkot Bogor menjalankan putusan MA dan Ombudsman Republik Indonesia untuk membuka segel dan beribadah di sana. Dan gereja mendukungnya.
Penolakan relokasi oleh jemaat GKI Bapos Taman Yasmin bagi saya bukan hanya dilandasi dari aspek hukum, namun juga dapat dilihat dari aspek teologi. Dalam hal ini saya terinspirasi oleh pemikiran dan semangat seorang Teolog Pembebasan bernama Leonardo Boff. Ia terkenal karena aktif mendukung perjuangan bagi hak-hak kaum miskin dan mereka yang tertindas. Ia adalah salah satu pendiri dari Teologi Pembebasan bersama dengan Gustavo Gutierrez di Amerika Latin.
Salah satu pemikiran Boff yang menarik untuk direnungkan adalah bagaimana ia memandang bahwa persekutuan gereja itu dilandasi oleh persekutuan Allah sendiri, yaitu persekutuan perichoresis. Jadi, gereja tidak lagi dipandang sebatas hierarki, melainkan keterlibatan seluruh anggota yang mengarahkan gereja untuk bereksistensi di dunia demi perwujudan Kerajaan Allah. Dalam konteks inilah gereja harus mewujudkan bela rasa, hadir bersama dengan mereka yang tertindas sehingga gereja dapat menjadi perpanjangan tangan Allah. Nah, dalam polemik GKI Bapos Taman Yasmin, adakah gereja sudah berbela rasa? Adakah gereja sudah menjadi perpanjangan tangan Allah?
Gereja semestinya mampu menghadapkan “altar ke pasar”, artinya tidak hanya berkutat dengan kegiatan ritual semata, namun juga menghadirkan dan menegakkan Kerajaan Allah ditengah dunia. Maka jemaat Allah semestinya tidak lagi berkutat dengan diri sendiri, tetapi berani keluar dan ambil bagian dalam masalah dunia, khususnya ketidakadilan. Kehadiran gereja bersama dengan kelompok yang tertindas, dalam hal ini jemaat GKI Bapos Taman Yasmin tidak hanya dilihat sebagai sebuah usaha praktis, tetapi juga pengalaman spiritual berjumpa dengan Allah yang hadir bersama dengan mereka yang mengalami ketidakadilan.
Dalam hal itulah Allah menjadi bermakna, karena Ia hadir sebagai bagian penting dari kenyataan dan menjadi sumber terang dalam realitas hidup sosial manusia. Artinya, Allah itu tidak kaku dan tertutup, tetapi Ia adalah harapan, masa depan yang mesti diwujudnyatakan oleh gereja. Gereja dipanggil untuk solider, bersikap adil, dan bermartabat dalam memperjuangkan mereka yang tertindas, dalam hal ini jemaat GKI Bapos Taman Yasmin.
Bagi saya, kehadiran gereja bersama mereka yang tertindas merupakan suatu sikap mengejawantahkan pesan biblis yaitu, hadir dan memperjuangkan hak-hak orang yang tertindas, seperti yang dilakukan oleh Yesus selama Ia berkarya di muka bumi. Yesus dalam karya-Nya menampilkan dan melibatkan diri-Nya bersama dengan mereka yang sakit, lapar, dikucilkan, disingkirkan, dihakimi, dan tindakan ketidakadilan lainnya. Karya Yesus ini semestinya menjadi model bagi gereja untuk berkarya ditengah dunia. Gereja harus mampu menampilkan wajah Yesus dalam pelayanannya sehingga gereja menjadi pembebas sejalan dengan harapan terwujudnya Kerajaan Allah.
Barangkali kita dapat bersama-sama berefleksi dari kisah orang Samaria yang murah hati (Lukas 10:25-37) yang mendekat, memeriksa, kemudian menolong. Di dalam konteks GKI Bapos Taman Yasmin, perlu kita tanyakan dalam diri kita masing-masing sebagai umat Allah, “Sudahkah kita mendekati jemaat GKI Bapos Taman Yasmin? Ataukah kita hanya memandang dari kejauhan? Atau jangan-jangan kita bergegas meninggalkannya?”
“Adakah kita mau memeriksa kronologis polemik ini dari sudut pandang korban yaitu, jemaat GKI Bapos Taman Yasmin? Maukah kita mendengarkan jeritan suara korban yang dirundung ketidakadilan selama 15 tahun ini? Atau jangan-jangan kita menutup rapat telinga?”
“Dan kemudian maukah kita menolong jemaat GKI Bapos Taman Yasmin memperjuangkan haknya? Maukah kita menemani langkah perjuangan mereka? Atau jangan-jangan kita ciut nyali dan membalikkan badan, memunggungi jemaat GKI Bapos Taman Yasmin yang mencari keadilan?”
Kisah orang Samaria yang murah hati semestinya dapat menjadi cermin bahwa gereja dapat meniru orang Samaria yang karena kebaikan hatinya menolong orang yang dipukul dan dirampok itu. Bukan justru pergi menjauh, apalagi bekerja sama dengan perampoknya. Namun, pada kenyataannya sikap pragmatis lebih populer untuk diambil oleh gereja ketika berhadapan dengan kasus-kasus ketidakadilan di masyarakat. Kehidupan toleransi yang digemakan gereja akhirnya sebatas seremonial perjumpaan para pemuka agama, bukan masuk dan terlibat secara aktif dan nyata dalam menangani kasus-kasus intoleransi yang menjadi akar busuk dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia belakangan ini.
Melalui kisah orang Samaria, gereja diajak untuk memberikan perhatian secara serius dan khusus kepada mereka yang tertindas, yaitu dalam hal ini jemaat GKI Bapos Taman Yasmin. Perhatian dapat diwujudkan dengan berjuang bersama dengan jemaat GKI Bapos Taman Yasmin, bukan justru menyudutkan mereka dan membungkam suara korban.
Pertanyaan, ‘Quo vadis Ecclesia?’ semoga menginspirasi gereja untuk bertindak seperti Rasul Petrus yang kembali menyadari panggilannya. Dalam hal ini panggilan gereja untuk hadir secara nyata berjuang bersama dengan jemaat GKI Bapos Taman Yasmin untuk memperoleh keadilan dari Negara Republik Indonesia.
* Penulis adalah Jemaat GKI Bapos Taman Yasmin
Be the first to comment