Jakarta, innews.co.id – Putri raja kerap digambarkan sebagai wanita yang hari-hari hidupnya hanya dilalui dengan bersolek dan bersenang-senang. Namun, tidak demikian dengan Rambu Ata Pau, putri raja di Sumba Timur dan Kerajaan Pau, yang justru merasa punya tanggung jawab besar untuk menjaga warisan leluhurnya berupa Tenun Sumba.
Di kesehariannya, Rambu Ata Pau berkutat membuat kain tenun khas Sumba yang begitu mempesona. Tinggal bersama ayahnya Oemboe Nggikoe (Raja Pau), suami, dan kedua putrinya, hari-hari Rambu Ata Pau dilalui dengan bekerja keras, menenun dengan peralatan sangat sederhana untuk menghasilkan kain tenun bernilai seni tinggi dan sejuta makna dibalik motif-motifnya.
Tidaklah mudah membuat tenun Sumba. Konon kabarnya, untuk membuat sehelai kain yang istimewa harus melalui 42 tahapan, yang bisa memakan waktu hingga tiga tahun. Kain tenun Sumba lahir dari kekayaan alam lokal. Pewarnaan kain menggunakan bahan alami seperti akar mengkudu, serat kayu hingga lumpur serta pemilihan motif yang unik merepresentasikan budaya Sumba yang spesial. Misalnya, warna indigo atau biru diambil dari daun nira, warna dasar merah dari akar pohon mengkudu, dan warna hitam dari lumpur tertentu.
Sederet makna tersirat dalam tiap gambar yang ditampilkan pada kain Sumba. “Karena nenek moyang kami pemburu, maka kebanyakan bentuk binatang diangkat sebagai motif kedalam tenun Sumba,” kata Rambu Ata Pau, Jumat (12/2/2021).
Diakuinya, tidak semua binatang memiliki arti filosofis, mungkin hanya sebagai artistik saja. Motif rusa, misalnya melambangkan wanita yang lincah, lemah lembut, dan anggun. Kalau ayam sebagai binatang sakral dalam adat. Untuk motif kuda melambangkan kepahlawanan, keagungan, dan kebangsawanan karena kuda merupakan simbol harga diri bagi masyarakat Sumba. Bahkan, posisi kuda dianggap hampir sejajar dengan arwah nenek moyang.
“Motif lainnya seperti buaya dan ayam bermakna kekuatan dan kehidupan wanita, biasanya hanya raja dan ratu serta kalangan terdekatnya yang memakai motif ini. Motif yang lazim dijumpai lainnya seperti motif burung kakatua melambangkan persatuan,” terangnya.
Ketika ditanya soal modernisasi yang berpotensi mengikis budaya Sumba, Rambu Ata Pau dengan yakin berkata, “Budaya tenun kuno peninggalan nenek moyangnya dari generasi ke generasi akan terus dipertahankan”.
Begitu juga Rambu Ata Pau tidak khawatir dengan ketersediaan bahan baku. Dirinya berkeyakinan, semua pasti tersedia.
Tidak hanya melestarikan tenun Sumba, Rambu Ata Pau juga seorang penjaga situs-situs berupa rumah adat dan makam raja-raja yang tak lain adalah nenek moyangnya agar tidak tergilas modernisasi.
Ketika dikonfirmasi terkait Tenun Sumba, Jumat (12/2/2021), Putri Simorangkir Ketua Bidang Sosial Budaya Baskara, sebuah komunitas anak bangsa, mengatakan, “Saya kagum dengan Rambu Ata Pau. Dia putri raja yang sangat rendah hati dan punya keterbebanan untuk melestarikan Tenun Sumba warisan leluhurnya”.
Menurut Putri, beruntung kita memiliki wanita seperti Rambu Ata Pau. “Di daerah Sumba yang memiliki keindahan alam mempesona dan belum terkontaminasi oleh modernisasi kekinian, ada sosok wanita Rambu Ata Pau yang mau berjerih lelah memghasilkan kain tenun Sumba yang sangat bagus dan bernilai tinggi. Semoga ini bisa menjadi perhatian pemerintah. Tidak hanya untuk melestarikan warisan leluhur orang Sumba, tapi juga memperhatikan kehidupan masyarakat dan pendidikan anak-anak di sana,” pungkasnya. (RN)
Be the first to comment