Rayakan Hari Bersejarah, Ukraina Tuntut Semenanjung Krimea Dikembalikan

Tank-tank Rusia memasuki wilayah Ukraina

Jakarta, innews.co.id – Warga Ukraina tidak akan melupakan hari bersejarah negara tersebut, yang jatuh pada 26 Juni. Ketika itu, terjadi pencaplokkan wilayah yang dilakukan Rusia, 2014 lalu, yang mengakibatkan warga Semenanjung Krimea harus terusir dari kampung halamannya sendiri.

Karenanya, oleh warga Ukraina, setiap 26 Juni diperingati sebagai Hari Bendera Tatar Krimea berdasarkan keputusan Sidang III Kurultay Tatar Krimea, 29 Agustus 2010. Pemerintah Ukraina menghormati dan ikut menetapkan hari itu sebagai hari besar.

“Tanggal itu adalah momen penting bagi Ukraina untuk mengingat perjuangan rakyat Krimea dibawah bendera Tatar Krimea. Berjuang demi hak mereka untuk mengidentifikasi dan menyatakan keberadaan diri ” tulis Akun Telegram Kantor Kepresidenan Ukraina, tahun lalu.

Dikatakan, pemulihan hak-hak orang Tatar Krimea sebagai penduduk asli Ukraina akan menjadi manifestasi nyata dari keadilan sejarah. Saat itu, Krimea sudah dicaplok Rusia dengan sewenang-wenang, dan warganya–kaum Tatar Krimea yang mayoritas Muslim–kembali terbuang dari tanah kelahiran.

Saat ini, target untuk merebut kembali Krimea terlihat lebih sulit dari sebelumnya, setelah sebagian besar wilayah Kherson jatuh kedalam cengkeraman Rusia yang tak pernah terpuaskan akan wilayah. Saat ini pasukan Ukraina terdorong mundur lebih dari 100 km (60 mil) dari semenanjung.

“Kejatuhan wilayah itu mendorong orang-orang Muslim Tatar untuk bergabung bersama kami,” kata Akayev Muslim berusia 57 tahun, ayah 13 anak ini dalam keterangannya yang diterima innews, Kamis (23/6/2022). Ia mensyukuri hikmah itu dan kian yakin bahwa dibalik segala kesulitan, ada kebaikan yang mungkin tersembunyi.

Mayoritas orang Tatar menentang pencaplokkan Krimea oleh Moskow yang berjalan seiring penggulingan presiden Ukraina yang pro-Kremlin pada 2013-2014 itu.

Kecurigaan kaum Muslim Tatar terhadap Moskow memiliki akar yang teramat dalam. Diktator Uni Soviet, Josef Stalin telah memerintahkan deportasi massal warga Tatar Krimea, termasuk kakek-nenek Akayev, pada tahun 1944, setelah melancarkan tuduhan keji sebagai alasan pembenaran, yakni bekerja sama dengan Nazi Jerman.

Dikatakan, kaum Muslim Tatar hanya diizinkan kembali dan praktis yang datang adalah anak keturunan—pada 1980-an, seperti yang dilakukan Akayev dengan pulang dari Uzbekistan pada 1989. Saat itu banyak yang menyambut runtuhnya Uni Soviet pada 1991 itu sebagai saat pembebasan.

Akayev sekeluarga pindah ke Kyiv pada 2014, di saat Rusia datang menganeksasi Krimea. Dan apa yang dikhawatirkan banyak Muslim Tatar Krimea pun terjadi. “Tatar Krimea lebih menderita dibawah pendudukan Rusia, sehingga mereka merasa lebih dekat dengan kami,” kata Muaz, seorang dari etnis Kabardian di Kaukasus Utara Rusia, yang justru bergabung dengan Batalyon Krimea setahun lalu.

Moskow, berbeda dengan berita-berita yang dilansir media Rusia, pada tahun 2016 melarang Mejlis, sebuah badan yang mewakili Muslim Tatar Krimea. Sebuah laporan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada tahun 2017 menuduh Rusia melakukan pelanggaran hak asasi manusia berat di Krimea, termasuk menjadikan Muslim Tatar sebagai sasaran intimidasi, penggeledahan rumah, dan penahanan.

Moskow menolak laporan PBB tersebut dan mengatakan, referendum Maret 2014 telah melegitimasi “penggabungan” Krimea menjadi bagian dari Rusia.

Ide Akayev membangun Batalyon Krimea awalnya ditolak oleh pasukan keamanan Ukraina. Tetapi ketika kaum separatis yang didukung Rusia mengangkat senjata melawan Ukraina di wilayah Donbas timur pada 2014, semua berubah.

Kelompok Akayev diizinkan mendaftar sebagai unit sukarelawan, dibawah Kementerian Dalam Negeri Ukraina. Dua bulan lalu mereka menandatangani kontrak untuk menjadi unit penuh tentara Ukraina.

Lusinan batalyon sukarelawan lainnya bermunculan mulai tahun 2014, dan membantu tentara reguler Ukraina yang tidak siap untuk berperang di Donbas. Di antara mereka termasuk dua unit batalyon Muslim Chechnya dan satu Georgia.

Seorang staf Presiden Ukraina pada Maret lalu mengatakan bahwa batalyon sukarelawan tersebut sekarang berjumlah lebih dari 100 personel. Pemerintah Ukraina merayakan mereka sebagai pahlawan.

Kehadiran Batalyon Krimea, mendapat cibiran dari Menteri Luar Negeri Rusia Sergei Lavrov. Dia mengatakan, memberikan pelontar roket anti-pesawat yang disandang di bahu kepada para sukarelawan itu hanya menjadi bukti dari sikap “psikosis militeristik”-nya Ukraina.

Hal tersebut ditepis Kementerian Luar Negeri Ukraina dalam sebuah pernyataan, baru-baru ini menyatakan, “Krimea adalah Ukraina. Kami tidak akan menyerahkan wilayah kedaulatan demi perdamaian dengan Rusia”.

Ukraina menilai, aneksasi Rusia atas Krimea adalah pelajaran berharga bagi komunitas internasional. Disampaikan, pada tahun 2014, dunia tidak cukup vokal dan berani menentang pendudukan Rusia atas Krimea. Tahun ini, hal itu mengakibatkan invasi skala penuh ke Ukraina. Jika dunia hari ini tidak menentukan sikap, kejahatan Rusia akan berulang lagi dan lagi. (RN)

Be the first to comment

Tinggalkan Balasan