Jakarta, innews.co.id – Sesuai UU Otonomi Khusus Nomor 21 Tahun 2001, rakyat Papua melalui Majelis Rakyat Papua (MRP) dan Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP) diberi kewenangan khusus untuk memberi masukan terkait perubahan regulasi ini. Masukan itu disampaikan kepada pemerintah pusat dan DPR (Pasal 77). Sayangnya, kewenangan tersebut dicaplok Pemerintah Pusat dan DPR RI. Bahkan, disinyalir ada upaya memandulkan MRP dan DPRP.
“Harus dipahami UU Otsus Papua ini merupakan konsensus politik antara Jakarta (Pemerintah Pusat) dengan Papua. Diberikannya kewenangan untuk melakukan perubahan kepada rakyat Papua, merupakan kekhususan UU ini, berbeda dari regulasi lainnya. Namun, pemerintah pusat nampaknya setengah hati menjalankan UU Otsus Papua ini. Terbukti, terkait perubahan kedua UU No.21/2001 ini yang harusnya disampaikan oleh rakyat Papua melalui MRP dan DPRP, justru ‘diambil alih’ oleh pemerintah pusat, dengan memasukkan tiga usulan perubahan ke DPR RI, soal penegasan nama Papua (dulunya Irian Jaya), keuangan, dan pemekaran wilayah,” terang Dr. Stefanus Roy Rening, SH., MH., Tim Advokasi dan Hukum MRP kepada innews, Selasa (15/6/2021).
Dari 3 usulan perubahan, sambung Roy, sama sekali tidak menyentuh keinginan dan kehendak rakyat Papua. Karena memang usulan tidak bottom-up, melainkan top-down. Rakyat Papua tidak diajak bicara oleh pemerintah pusat dan DPR. Ada ketidakjujuran dalam pemberian otonomi khusus kepada rakyat Papua.
Roy menambahkan, bila usulan perubahan bukan dari rakyat Papua, berarti pemerintah pusat telah mengambil hak orang Papua. “Ada dugaan, Otsus yang digulirkan 20 tahun lalu, pelan-pelan mau diambil alih oleh pemerintah pusat. Hak konstitusional orang Papua dilanggar,” tegasnya.
Lebih jauh Wakil Ketua Umum Peradi ini mengatakan, dari 24 kekhususan yang diberikan oleh UU Otsus, sejauh ini baru 4 yang terlaksana. Karena itu, rakyat Papua menginginkan evaluasi menyeluruh terhadap UU ini. “Kalau yang lainnya belum jalan, bagaimana rakyat Papua mempercayai bahwa benar-benar kewenangan khusus diberikan kepada mereka,” imbuhnya.
Ditambahkannya, sampai detik ini teman-teman MRP tidak diterima oleh pemerintah pusat untuk berdialog tanpa alasan jelas. “Kabarnya analisis intelijen mungkin menyatakan MRP berbahaya. Padahal, keberadaan MRP merupakan amanat dari UU Otsus. Bahkan ketika MRP mengadakan rapat dengar pendapat (RDP) dengan rakyat Papua di sejumlah tempat, justru ditangkap, diborgol, dan dihalang-halangi oleh aparat dengan alasan mau merdeka,” tandasnya.
Uji sengketa
Roy Rening mengatakan, pihak MRP melalui Tim Advokasi dan Hukum akan melakukan uji sengketa kewenangan UU Otsus Papua ini di Mahkamah Konstitusi. Apakah kewenangan usulan yang dimaksud pembuat UU Otsus ini ada di tangan rakyat Papua atau bagaimana? Sebab, ada perspektif atau tafsir yang berbeda.
“Silahkan Hakim di MK yang akan menafsirkan isi UU ini. Sekaligus kita mau melihat politik hukum negara kita,” tukasnya.
Roy meyakini, sejauh ini MRP dan DPRP melalui panitia khusus (Pansus) masing-masing yang sudah dibentuk dari tahun 2019 lalu, juga tentu memiliki aspirasi dan usulan yang berasal dari rakyat Papua.
MRP meminta MK untuk menunda sementara (putusan sela) pembahasan UU Otsus ini dan mengajak bicara dulu rakyat Papua melalui perwakilannya di MRP dan DPRP. Sebab, UU ini akan diterapkan di Papua, tapi kalau resistensinya tinggi karena ada pemaksaan kehendak dari pusat, untuk apa?
“Kita melihat bagaimana Perubahan Kedua UU Otsus ini berlaku dan diterapkan dengan baik,” cetus Roy.
Sejauh ini ada tiga opsi pemerintah, melanjutkan UU Otsus secara otomatis tanpa perlu pembahasan, perubahan terbatas, dan evaluasi menyeluruh. Yang dijalankan pemerintah pusat adalah perubahan terbatas, sementara rakyat Papua menginginkan evaluasi menyeluruh. (RN)
Be the first to comment