Jakarta, innews.co.id – Sikap Wali Kota Cilegon yang ikut menolak rencana pendirian gereja di Kota Cilegon, dikecam oleh Said Aqil Siroj (SAS) Institute. Padahal, penolakan ini diprakarsai oleh kelompok yang menamakan diri sebagai Komite Penyelamat Kearifan Lokal Kota Cilegon.
Dalam siaran pers yang diterima innews, Senin (12/9/2022), SAS mengatakan, apa yang dilakukan Wali Kota dan Wakil Walikota Cilegon dengan ikut menandatangani penolakan pendirian geraja adalah jelas pelanggaran terhadap konstitusi, yakni UUD Pasal 29 ayat 2,
yang menjamin setiap warga negara bebas memeluk agama dan beribadat berdasarkan agama dan kepercayaaannya.
Dalam rilis yang ditandatangani oleh Dr. H. Sa’dullah Affandy (Direktur Eksekutif) dan Prof. Dr. K.H. Said Aqil Siroj (Pendiri) ini dikatakan, apa yang dilakukan Wali Kota dan Wakil Walikota Cilegon dengan ikut menyutujui penolakan pendirian rumah ibadah (gereja) jelas melanggar hak asasi manusia (HAM), di mana pemerintah seharusnya menjamin kebebasan beragama dan beribadat warganya.
Dikatakannya, sikap pejabat daerah yang dengan ikut menyetujui penolakan pendirian gereja, lebih karena mengikuti desakan warga atau kelompok yang intoleran, dan kurang mempertimbangkan konstitusi, HAM, PMB 2 Menteri tentang pendirian tempat ibadah. “Ini jelas tidak bisa dibenarkan,” tuturnya.
SAS menyatakan, bila ada alasan historis yang melatar belakangi penolakan gereja tersebut, seperti Surat Keputusan Bupati Kepala Daerah Tingkat II Serang Nomor 189/Huk/ SK/1975, tanggal 20 Maret 1975, yang mengatur tentang Penutupan Tempat Jemaah Bagi Agama Kristen dalam daerah Kabupaten Serang, sekarang Cilegon, maka alasan apapun itu, seharusnya tidak boleh bertentangan dengan konstitusi.
“Selama daerah itu masih dalam NKRI, maka harus tunduk kepada konstitusi. Maka SK Bupati tersebut harus dibatalkan, karena ini dapat dinilai sebagai upaya makar,” tukasnya. (RN)
Be the first to comment