
Jakarta, innews.co.id – Sebagai wadah berhimpunnya para kurator dan pengurus, Asosiasi Kurator dan Pengurus Indonesia (AKPI) senantiasa menerapkan proses pencegahan pelanggaran hukum, bahkan sebelum menjadi anggota. Yaitu melalui Pendidikan kurator dan pengurus AKPI, di mana topik mengenai kode etik profesi merupakan bagian penting dari pendidikan tersebut. Bahkan diujikan dalam bagi calon kurator dan pengurus.
“Berdasarkan amanat Mukadimah Anggaran Dasar AKPI, organisasi ini memiliki beberapa kegiatan untuk membentuk kurator dan pengurus yang profesional, termasuk pembinaan, bimbingan, pendidikan, dan ujian sertifikasi,” kata Nien Rafles Siregar, Sekretaris Jenderal AKPI, kepada innews, di Jakarta, Senin (6/5/2024).
Menurutnya, masalah kode etik profesi merupakan amanat yang diatur dalam Anggaran Rumah Tangga AKPI, di mana anggota wajib mematuhi dan tunduk pada peraturan organisasi serta kode etik profesi.
Ketatnya soal kode etik di AKPI, ujarnya, dimaksudkan agar semua anggotanya menjunjung tinggi martabat dan kehormatan profesi kurator dan pengurus. “AKPI mengedepankan pendidikan moral, integritas, dan tanggung jawab kepada semua calon dan anggotanya,” jelasnya.
Diuraikan, AKPI memiliki berbagai lapisan aturan maupun organ untuk menegakkan kode etik. Dalam halnya aturan, kami memiliki Kode Etik AKPI, yang mana memiliki berbagai ketentuan mengenai perilaku profesi dan pelaksanaan kode etik. Lalu dalam halnya pelaksanaan, terdapat organ AKPI yang bertugas untuk menegakkan kode etik kurator dan pengurus, yakni Dewan Kehormatan AKPI, Majelis Dewan Kehormatan AKPI, dan Majelis Komisi Banding AKPI.
Aduan
Dikatakannya, proses pelanggaran kode etik di AKPI ialah bersifat aduan. Sehingga apabila diduga terdapat anggota AKPI yang melanggar kode etik, maka pihak yang dirugikan dapat mengadukan secara tertulis kepada Dewan Kehormatan melalui pengurus AKPI. Pengaduan kemudian akan diproses dalam pemeriksaan tingkat pertama. Apabila pengadu dan teradu tidak puas terhadap putusan tingkat pertama, maka terdapat mekanisme banding yang dapat ditempuh.
Ada beberapa jenis sanksi yang tertuang dalam Kode Etik Profesi AKPI. Mulai dari teguran sampai pemberhentian anggota. Bahkan dalam sanki tersebut, dapat juga diikuti dengan larangan untuk menjalankan profesi selama waktu tertentu.
Terkait berat ringannya sanksi yang diberikan, sambung Rafles, tergantung dari sifat berat atau ringannya Kode Etik Profesi yang dilanggar, dengan tetap mempertimbangkan aspek lainnya. “Kategori sifat berat atau ringan itu merupakan keputusan dari Majelis Dewan Kehormatan, termasuk apabila anggota tersebut melakukan tindak pidana,” imbuhnya.
Ditegaskan, tidak ada ketentuan mengenai putusan pelanggaran Kode Etik Profesi yang one size fits all, melainkan banyak faktor yang dipertimbangkan. Namun jelas dan tegas adanya kewajiban anggota AKPI di dalam Kode Etik Profesi untuk menjaga integritas, bersikap jujur, dan dapat dipercaya serta tidak mengorbankan kepercayaan publik demi kepentingan pribadi.
Rafles memastikan, AKPI selalu memberikan arahan kepada anggotanya untuk menjalankan profesi dengan mematuhi peraturan perundang-undangan, kode etik, serta menjaga nama baik organisasi.
“Arahan-arahan ini bahkan sudah ditanamkan sejak Pendidikan Kurator dan Pengurus AKPI, di mana terdapat sesi khusus yang membahas mengenai Standar Profesi Kurator dan Pengurus serta Kode Etik AKPI. Harapannya dengan memupuk arahan ini sejak awal, anggota AKPI dapat bertindak secara independen, profesional, dan imparsial dalam menjalankan tugas profesi mereka,” tukasnya.
Seperti diketahui beberapa waktu lalu, Mahkamah Agung menvonis dua kurator, yakni RH dan WB dua tahun penjara. Vonis dua kurator itu termuat dalam Putusan Kasasi Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 277 K/Pid/2024.
Kedua kurator tersebut didakwa Pasal 400 Angka 2 KUHP juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP juncto Pasal 234 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.
Rafles mengakui, RH merupakan anggota AKPI, sementara WB tidak. (RN)
Be the first to comment