
Jakarta, innews.co.id – Rekomendasi penting dari tiga komisi dihasilkan dari Rapat Kerja Nasional (Rakernas) Perhimpunan Advokat Indonesia Suara Advokat Indonesia (Peradi SAI) di The Stones Hotel, Bali, 10-12 Juni 2022 lalu, yang dihadiri seribuan advokat dari 53 DPC dan 3 DPD se-Indonesia.
Dirilis dari Peradi SAI, Kamis (16/6/2022), berikut hasil-hasil dari 3 komisi yang secara marathon menggelar rapat pada Rakernas tersebut.

Dari Komisi A yang dipimpin Harry Ponto, dirilis rekomendasi terkait upaya pengembangan program dan kesiapan Peradi SAI dalam menghadapi era disrupsi teknologi. Dijabarkan ada beberapa hal yang menjadi fokus Komisi A, antara lain:
1. Melakukan percepatan penerbitan KTPA
2. Melakukan rapat berkala antara DPN dan DPC setiap tiga bulan
3. Membentuk Dewan Kehormatan Bersama
4. Serta merekomendasikan kepada DPN agar pengembangan PBH menjadi bagian dari DPC.
Selanjutnya, dari Komisi B yang dipimpin oleh Swandi Halim, lebih menyoroti pentingnya Pendidikan Hukum Berkelanjutan (PBH) bagi advokat Peradi SAI dan evaluasi materi. Adapun beberapa poin yang disampaikan, yakni:
1. Mengupayakan integrasi antara PKPA dengan ujian pengangkatan maupun penyumpahan advokat
2. Penyatuan program PKPA dengan Merdeka Belajar
3. Mandatory Continuing Legal Education sebagai syarat perpanjangan kartu advokat.
Menurut Swandi, ini baru pertama kali dalam sejarah organisasi advokat, di mana Peradi SAI berani mewajibkan pendidikan berkelanjutan sebagai syarat perpanjangan kartu advokat.
Lanjut dari Komisi C yang dipimpin oleh Dr. M. Luthfie Hakim, yang menelurkan rekomendasi untuk disampaikan kepada Panitia Kerja (Panja) RUU PDP dan Komisi I DPR RI, yaitu:
1. Pembentukan kelembagaan PDP yang independen dan bertanggung jawab kepada Presiden
2. Pembentukan dua lembaga lain yang perlu dibentuk yakni, Dewan Pengawas dan Dewan Kehormatan.
Tak hanya itu, komisi ini juga mengkritisi peraturan mengenai perlindungan data pribadi yang dinilai masih belum efektif dan optimal. Sejauh ini, kata Komisi C, Indonesia belum memiliki peraturan perundang-undangan khusus yang menjadi dasar hukum perlindungan data pribadi, sehingga ada kekosongan norma.
Disampaikan, RUU Perlindungan Data Pribadi merupakan kewajiban konstitusi negara yang diatur dalam Pasal 28G dan Pasal 28J UUD NKRI 1945. “Konsep pengaturan perlindungan data pribadi yang tepat adalah melalui pengaturan yang bersifat komprehensif yang akan mengatur baik perorangan maupun badan hukum dan organisasi kemasyarakatan,” ujar Komisi C.
Diusulkan, keanggotaan lembaga PDP dapat terdiri atas unsur pemerintah dan masyarakat pemangku kepentingan, termasuk yang memiliki keahlian di bidang PDP. “Pengaturannya tidak hanya untuk kepentingan pemerintah, tetapi juga swasta,” terang Luthfie.
Komisi C juga mengusulkan agar PDP tidak hanya mengatur informasi elektronik tetapi juga nonelektronik, sehingga tetap diperlukan aturan pidana yang tidak diatur dalam UU ITE. Untuk sanksi, lebih mengarah pada pidana administratif atau denda, kecuali untuk kejahatan berat dapat dikenakan sanksi pidana penjara.
“Perlunya juga diatur dalam UU PDP tentang ketentuan strick liability dalam masalah tanggung jawab dan kerugian. Perlu diperhatikan jangan sampai terjadi duplikasi pengaturan sanksi pidana yang ada di dalam UU ITE dengan RUU PDP,” sarannya. (RN)
Be the first to comment