Jakarta, innews.co,id – Sebuah chat di WhatApps seharusnya membuka kotak pandora kasus dugaan memasukkan keterangan palsu ke dalam akta otentik, di mana dua orang sudah diperiksa sebagai terdakwa yakni AJ dan Ev, sayangnya diduga chat tersebut sengaja dihapus oleh AJ. Hal tersebut ketahuan saat handphone AJ disita oleh penyidik.
Saat ini, perkara nomor 246/Pid.B/2024/PN.Jakut, tengah disidangkan di Pengadilan Negeri Jakarta Utara.
Dalam chat-nya kepada Katarina Bonggo Warsito (pelapor), istri Alexander Muwito (Alm), anak AJ dituliskan, “Kat tlg krm foto copy ktp kamu ke hery dan minta print bw plg.lalu ke sy u Sy ke notaris u cantumkan nama kamu u urus Ancol jelaskan”.
Permintaan Aky ini dijawab oleh Katarina, “Ktp sy herry sudah ada papi”.
“Bentar sy telp dia. Ok tadi sy telp pas papi telp jg,” lanjut Katarina dalam chat-nya.
“Ok,” balas Aky singkat.
Dari rangkaian chat tersebut, nampak jelas ada komunikasi antara AJ dengan Katarina sebagai mantan menantunya terkait akta yang akan ditandatangani di Apartemen Ancol. Namun faktanya, bukan saja nama Katarina tidak ada dalam akta, justru di akta tersebut ditulis bahwa Alexander tidak pernah menikah sama sekali. Hal tersebut yang melahirkan polemik berkepanjangan.
Dalam dua Akta Pernyataan, masing-masing bernomor: 26 tanggal 7 Agustus 2017 dan Nomor: 01/KHM /VIII/17 tanggal 7 Agustus 2017, dituliskan bahwa Alexander tidak pernah terikat dalam suatu perkawinan yang sah dengan siapapun juga menurut hukum dan peraturan perundang-undangan yang berlaku di Republik Indonesia.
Ketika dikonfirmasi, Katarina Bonggo Warsito mengakui ada bukti chat di WhatApps yang menjadi kunci membuka kasus tersebut. “Chat di WA itu dihapus oleh AJ saat handphone-nya disita oleh penyidik. Tapi saya sudah laporkan (chat) itu ke polisi,” tegas Katarina.
Chat di WA itu juga konon menjadi dasar Katarina mau mengantar berkas-berkas dan keperluan penandatanganan akta tersebut. “Kalau memang dibilang saya telah melepas hak, apa ada bukti tanda tangan pelepasan hak dari saya?” cetusnya.
“Logikanya, tidak ada orang yang mau dijahati. Itu cara untuk ‘merayu’ agar Katarina mau mengurus akta tersebut. Dengan kata lain ada bujuk rayu yang dilakukan, di mana ujungnya memanipulasi seseorang untuk mengikuti maunya si pembuat akta. Ini makin parah lagi,” kata pakar hukum pidana Dr. Hendri Jayadi Pandiangan, saksi ahli dalam kasus tersebut, pada sidang terbuka di PN Jakut, Selasa (21/5/2024).
Dalam pertemuan terpisah Hendri menjelaskan menghilangkan chat WA yang justru sebenarnya penting merupakan tindak pidana, masuk kategori menghilangkan barang bukti, dan ada hukumannya.
Terang benderang
Kuasa hukum para terdakwa, Djalan Sihombing berkilah, para terdakwa tidak pernah menyuruh (memasukkan keterangan palsu). “Sampai sekarang belum tahu persis siapa yang menyuruh melakukan itu karena si terdakwa tidak pernah menyuruh. Di persidangan sebelumnya juga tidak ada yang tahu, termasuk Pelapor pun tidak tahu. Itu yang terjadi,” ucap Djalan.
Dalam hukum pidana, kata Hendri, kebenaran materiil yang dibuktikan, faktanya tidak ada nama Katarina dalam akta tersebut. Apalagi, kabarnya saat penandatanganan Katarina disuruh keluar ruangan.
“Saat penandatanganan, ada para pihak pembuat akta dan saksi-saksi bersama notaris. Sementara Katarina diminta keluar. Bagaimana caranya kalau dikatakan notaris yang memasukkan keterangan palsu itu? Kalau akta itu juga memuat kepentingan Bu Katarina, kenapa dia harus disuruh keluar saat mau diteken. Artinya, ada sesuatu yang disembunyikan. Jadi, sudah jelaslah ada upaya pengaburan fakta. Pun jelas siapa pihak yang ‘bermain’ dalam perkara tersebut. Harusnya hakim sudah tidak ragu lagi karena sudah terjadi tindak pidana melanggar Pasal 266 KUHP,” tegas Hendri.
Saksi fakta mantan staf Kantor Notaris
Budi Harianto maupun Mukmin, saat memberikan kesaksian di PN Jakut, Selasa (30/4/2024) mengaku tidak mengenal Katarina Bonggo Warsito dan tidak ada dalam ruangan saat penandatanganan. Budi menegaskan, saat penandatanganan akta, dirinya hanya melihat 5 orang yakni, Aky, Eva, Ernie, bersama dua saksi Tan Gek Lui dan Metta Dewi.
Lebih jauh Hendri menguraikan, unsur-unsur di Pasal 266 yakni, ada subjek hukum yang secara sengaja melakukan tindak pidana. Lalu, unsur kesalahannya berbentuk dolus (opzet) atau disengaja karena di pasal tersebut tertulis, “Barangsiapa menyuruh memasukan keterangan palsu…” Artinya, ada unsur mens rea (niat jahat), di mana ketemu niat dengan perbuatan dari si pelaku. Lalu perbuatan itu sempurna selesai dan menimbulkan kerugian bagi orang lain.
Secara umum, sambung Hendri, melihat perkara ini, sudah terang benderang, tapi ada yang membuatnya seolah-olah menjadi gelap. Di mana ada akta yang memuat ketidakbenaran dan ketidaksesuaian dengan fakta, dalam hal ini terkait perkawinan Katarina dengan Alexander yang nyata-nyata ada, tapi dibilang tidak ada.
Bahkan, menurut Hendri, terdakwa dapat juga dikenakan Pasal 277 KUHP, di mana ayat (1) berbunyi, “Barangsiapa dengan suatu perbuatan dengan sengaja berbuat sehingga asal-usul seseorang menjadi tidak tentu, dipidana karena menggelapkan keadaan orang dengan pidana penjara selama-lamanya enam tahun”.
Sementara itu, Kuasa Hukum Katarina, Sugeng Teguh Santoso menegaskan, sudah tepat pihak-pihak yang diduga memasukkan keterangan palsu ke dalam akta otentik dikenakan Pasal 266 KUHP.
Menurutnya, sudah tepat diduga para terdakwa itu menyuruh dan kemudian bukan hanya menyuruh, tapi mereka juga menggunakan akta tersebut untuk pengalihan alih waris. Dalam hal ini hak Katarina dengan sengaja dihilangkan. (RN)
Be the first to comment