Jakarta, innews.co.id – Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, memberikan dua jalan terkait kepailitan, yakni melalui PKPU dan permohonan kepailitan. Sayangnya, banyak pihak lebih memilih melalui jalur PKPU. Karena keputusan yang dihasilkan adalah final and binding. Dengan kata lain, tidak ada upaya hukum lain yang bisa ditempuh.
Pada beberapa kasus, jalur PKPU seringkali merugikan debitur, karena bila sudah diputus, maka tidak ada upaya hukum lain. Sementara dalam permohonan kepailitan yang diajukan dengan pembuktian sederhana. Namun, ketika diputus, maka ada upaya hukum lain, yakni kasasi dan peninjauan kembali. Perkara PKPU ditangani oleh pengurus, sementara permohonan kepailitan dengan kurator.
Saat ini, PT Sarana Yeoman Sembada di Batam mengajukan permohonan ke Mahkamah Konstitusi terhadap Pasal 235 ayat 1 dan Pasal 293 ayat 1 UU Nomor 37 Tahun 2004 tentang tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang karena dianggap melanggar konstitusi. Mereka meminta pasal tersebut dihapus. Pasal 235 ayat 1 isinya, “Terhadap putusan penundaan kewajiban pembayaran utang tidak dapat diajukan upaya hukum apapun”. Sementara Pasal 293 ayat 1 menyatakan, “Terhadap putusan Pengadilan berdasarkan ketentuan dalam Bab III ini tidak terbuka upaya hukum, kecuali ditentukan lain dalam Undang-Undang ini”.
Alasan permohonan ke MK ini, bahwa dengan ditutupnya upaya hukum apapun terhadap putusan kepailitan yang didahului putusan PKPU tersebut, maka telah menimbulkan kerugian secara konstitusional baik bagi pemohon maupun debitur-debitur lain yang pembuktian perkara utangnya tidak sederhana.
Ketika diminta komentarnya, Renita Girsang advokat senior sekaligus putri pengacara papan atas Yan Apul Girsang (Alm) mengakui, pada beberapa kasus memang pasal tersebut terasa merugikan, terutama bagi debitur.
“Saya melihat, jalur PKPU ini ibarat jebakan batman. Karena banyak ‘orang pintar’ memanfaatkannya. Jadi, kreditur (yang punya tagihan) meminta restrukturisasi, padahal harusnya debitur (yang punya hutang) yang mengajukan. Sebab, dia yang tahu kondisi keuangan dan kemampuan membayarnya,” jelas Renita Girsang, BA., SH., pimpinan Kantor Advokat Yan Apul & Rekan kepada innews, Rabu (13/10/2021).
Melalui PKPU, kata Renita, sepertinya memang sudah ada niatan kreditur mempailitkan debitur. “Memang ada mekanisme voting, tapi kemungkunan menang sudah bisa diprediksi. Kalau debitur kalah, maka hampir pasti dipailitkan tanpa ada upaya hukum lainnya,” terang wanita cantik semampai peraih penghargaan Indonesia Women Achiever Awards 2020 dari National Award Foundation ini.
Renita mengaku dirinya juga pernah mengalami hal seperti itu saat menangani sebuah perusahaan konstruksi. “Saya tidak menilai Pasal 235 tidak baik, hanya saja pada beberapa momen merugikan debitur,” tandasnya.
Dikisahkan, pada sebuah kasus yang pernah ia tangani, PKPU sudah diajukan lima kali dan selalu di Niet Ontvankelijke Verklaard (NO) oleh para hakim. Tapi, saat diajukan ke-6 kalinya, masih dengan bukti-bukti lama, PKPU dikabulkan dan debitur diputus pailit.
Pada persidangan sebelumnya, majelis hakim menilai gugatan tidak dapat diterima karena masih ada dispute. Para hakim menyarakan agar terkait tagihan dibawa dulu ke Pengadilan Negeri supaya jelas. Bila sudah ada putusan, baru bisa di PKPU.
“Ini kan aneh. Putusan hakim mempailitkan tidak profesional dan perlu dipertanyakan karena hanya berdasarkan dua surat saja, sementara bukti-bukti lain dikesampingkan. Apa para hakim di 5 persidangan sebelumnya kurang pintar atau hakim di PKPU ke-6 yang terlalu pintar,” serunya.
Renita mengaku terheran-heran, hakim di PKPU ke-6 bisa memutuskan lain. “Kasat mata saja kita bisa menilai salah benarnya. Kok, tiba-tiba putusan berbeda. Padahal, tidak ada bukti-bukti baru yang diajukan. Kalau kita benar-benar mau membenahi hukum di negara ini, maka kemungkinan terjadinya ‘permainan-permainan’ harus diminimalisir,” tegasnya.
Terkait judicial review, Renita beranggapan, harusnya Pasal 235 (1) bisa melindungi debitur yang beritikad baik dan kreditur yang nakal. “Mungkin bisa ditambahkan kalimat pada pasal itu, misal, diberi persyaratan sebelum dinyatakan final and binding. Dengan kata lain, agar debitur tidak merasa dizolimi, maka ada syarat-syarat yang harus dipenuhi. Atau bisa juga disamakan dengan pemohonan kepailitan, di mana ada upaya hukum lain, baik kasasi atau PK,” tutur Renita.
Baginya, ini penting agar hak debitur tidak seperti didikte oleh suatu keadaan atau kondisi yang tidak menguntungkan mereka. “Kasihan debitur yang beritikad baik, jadi merasa dirugikan dengan Pasal 235 ini. Kekhawatirannya, Pasal ini bisa disalahgunakan oleh pihak-pihak yang berniat kurang baik,” tukasnya. (RN)
Be the first to comment