Jakarta, innews.co.id – Berlarutnya kasus ijazah mantan Presiden Indonesia H. Ir. Joko Widodo melahirkan keprihatinan dari berbagai pihak. Bahkan dikhawatirkan hal tersebut bisa mengganggu stabilitas negara.
Berbagai usulan penyelesaian polemik telah coba disuarakan. Mulai dari mediasi, penghentian perkara, hingga dilakukan gelar perkara khusus oleh Polda Metro Jaya, beberapa waktu lalu. Namun, belum juga ada titik terang.
Mencermati kondisi demikian, Akademisi Universitas Krisnadwipayana (Unkris) mempertanyakan, apakah kedua belah pihak, baik mantan Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) maupun mantan Menteri Kabinet RI Roy Suryo cs harus menjalankan budaya/adat tradisi Jawa, yang dikenal dengan “Sumpah Pocong”?
Kebetulan, baik Jokowi maupun Roy Suryo sama-sama orang Jawa. Keduanya lahir dan besar di Jawa yang tentu sangat familiar dengan tradisi sumpah pocong yang sering dilakukan sebagai solusi/penyelesaian sengketa, krisis kecurigaan atau kepercayaan satu pihak terhadap pihak lainnya.
Terlepas dari pro kontra tentang sumpah pocong, baik dari perspektif agama maupun budaya, nyatanya sumpah pocong juga diakui dalam sengketa perdata untuk menambah keyakinan majelis hakim.
Sumpah pocong adalah sebuah tradisi terutama masyarakat Jawa yang beragama Islam untuk membuktikan kebenaran atas suatu tuduhan dengan cara membungkus diri dengan kain kafan seperti jenazah dan bersumpah dengan keyakinan adanya hukuman atau laknat dari Tuhan jika berbohong.
Namun sumpah pocong ini tidak ada dasarnya dalam hukum Islam dan juga tidak diakui secara resmi dalam hukum positif Indonesia, meskipun terkadang digunakan dalam penyelesaian sengketa informal.
Pada 2019 lalu, Wiranto yang ketika itu menjabat sebagai Menko Polhukam pernah menantang eks Kaskostrad Mayjen (Purn) Kivlan Zen untuk melakukan sumpah pocong sebagai upaya mengungkap dalang kerusuhan 1998. Namun, hal tersebut tidak terealisasi.
“Sumpah pocong bisa menjadi alternatif penyelesaian polemik ijazah Jokowi apabila hukum formil belum mengakomodir perkara tersebut serta untuk mencegah berlarut-larutnya masalah ini yang sudah 5 tahun namun belum menemukan titik penyelesaian,” kata Dosen Fakultas Hukum Unkris, Dr. Amir Karyatin, SH., dalam siaran persnya, di Jakarta, Jumat (19/12/2025).
Diketahui, selama ini kedua kubu saling mematahkan argumentasi masing-masing sehingga membentuk polarisasi opini publik. Tentunya kondisi ini sangat berpengaruh terhadap stabilitas keamanan negara.
“Dalam masalah tersebut, tidak ada pihak yang diuntungkan, apalagi memberi kontribusi positif bagi bangsa Indonesia. Ibarat menang jadi arang, kalah jadi abu,” ujarnya.
Lebih jauh Dr. Amir Karyatin mengakui bahwa gagasan tersebut muncul setelah dirinya mengikuti episode demi episode tampilan talk show di televisi sehubungan polemik ijazah palsu tersebut.
Setidaknya, bila dilakukan sumpah pocong paling tidak meredakan dan menyadarkan semua pihak agar polemik ini segera diakhiri dan kedua kubu yang bertikai bisa saling menerima sehingga energi kedua putera bangsa ini bisa digunakan untuk hal-hal yang positif demi kemajuan bangsa dan negara.
“Tidak ada maksud merendahkan norma hukum maupun agama. Alternatif sumpah pocong ini demi kebaikan semua pihak. Pak Jokowi dan Pak Roy Suryo sama-sama orang Jawa dan Muslim. Jadi mungkin saja dapat melakukan sumpah pocong sebagai alternatif penyelesaian polemik kedua belah pihak,” tukasnya.
Di sisi lain, Guru Besar Unkris, Prof. Dr. Drs. Soetomo berpendapat bahwa dalam Islam juga mengatur tentang sumpah ini, yakni yang dikenal dengan “Mubahallah”, yaitu doa dari masing-masing pihak yang berselisih memohon kepada Allah SWT agar melaknat mereka yang berbohong terhadap perkara yang disengketakan.
“Sumpah pocong adalah tradisi adat masyarakat Jawa (khususnya Jawa Timur), terutama mereka yang beragama Islam. Namun tidak semuanya menyetujui tradisi sumpah pocong ini karena bisa menjurus pada musyrik (menyekutukan Tuhan),” pungkasnya. (RN)













































