Oleh : Prof. Dr. T. Gayus Lumbuun, SH., MH
Penulis adalah mantan Hakim Agung RI
Pengantar
KAMUS Besar Bahasa Indonesia memberikan tiga arti kata politik. Istilah politik dalam arti yang ke-2 bahwa politik adalah “segala urusan dan tindakan (kebijakan, siasat, dan sebagainya) mengenai pemerintahan negara atau terhadap negara lain.”
Dalam Mirriam-Webster Dictionary, politics is “activities that relate to influencing the actions and policies of a government or getting and keeping power in a government” (politik adalah kegiatan-kegiatan yang berhubungan dengan mempengaruhi tindakan dan kebijakan satu pemerintah atau untuk memperoleh dan mempertahankan kekuasaan dalam satu pemerintahan).
Istilah politik yang kita warisi sekarang adalah jabaran kata dari bahasa Yunani/Latin: polis. Politik memang berurusan dengan kekuasaan (power/macht). Pada dirinya kekuasaan tidak perlu ditakuti atau dijauhi, asal saja dipakai dengan benar bagi kesejahteraan bersama.
Sayangnya tidak selalu begitu. Kekuasaan cenderung disalahgunakan. Guna memperoleh kekuasaan sering ditempuh dengan cara-cara yang tidak etis. Kekuasaan menjadi tujuan di dalam dirinya.
Hal menarik yang pernah diingatkan oleh Jefry Winters (Northwestern University Amerika Serikat) bahwa era reformasi berhasil membawa Indonesia menjadi negara yang demokratis. Namun sayangnya tidak diikuti dengan penguatan pada sektor hukum.
Oleh karena itu, dari perspektif pembangunan nasional, sangat disayangkan karena kemajuan di bidang demokrasi tidak diimbangi dengan sistem penegakan hukum yang kuat. Indonesia, menurut Jefry Winters, sesungguhnya dipimpin oleh sistem oligarkhi yang didalamnya penuh dengan orang-orang jahat (atau maling). Praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme yang melanda dunia peradilan membuktikan kebenaran pendapat Jefry Winters tersebut.
Praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme di bidang penegakan hukum menjadi tantangan utama program Nawacita Presiden Joko Widodo sebagai prioritas jalan perubahan menuju Indonesia yang berdaulat secara politik, serta mandiri dalam bidang ekonomi dan berkepribadian dalam kebudayaan.
Salah satu dari Nawacita adalah menolak negara lemah dengan melakukan reformasi sistem dan penegakan hukum yang bebas korupsi, bermartabat, dan terpercaya.
Penyelenggaraan demokrasi pascareformasi secara formal prosedural dapat digolongkan lancar, damai, bahkan kian “mapan”, tetapi proses dan capaian perubahan tidak sesuai yang diharapkan. Corak reformasi politik justru makin kabur dikacaukan oleh banyaknya kasus korupsi, kegaduhan manuver politik dangkal, serta sejumlah keculasan menandai sengketa kuasa yang menyertai hingar bingar demokrasi. Di situlah muncul gejala, mungkin bisa disebut sinyalemen, bahwa demokrasi Indonesia terasa goyah. Jika demokrasi itu diibaratkan rumah atau bangunan, maka pilar penyangganya yaitu parpol, kebebasan sipil, serta penegakan hukum.
Budaya paternalisme merupakan sistem ketokohan dengan memposisikan atasan sebagai pihak yang harus dihormati oleh bawahannya. Sementara di lain sisi, bawahan hanya dipandang sebagai alat untuk menjalankan perintah atasannya.
Pentingnya Supra Struktur dan Infra Struktur Politik
Saya berpandangan, paternialisme politik dapat diminimalisir dengan penguatan peran dari supra struktur dan infra struktur politik.
S.L. Litman dan J. Suest (dalam Visual Outline of Comparative Government) mengemukakan bahwa struktur ketatanegaraan terdiri dari supra struktur politik dan infra struktur politik. Supra struktur adalah segala sesuatu yang bersangkutan dengan apa yang disebut alat-alat perlengkapan negara, termasuk segala hal yang berhubungan dengannya (kedudukan, kekuasaan, wewenang, tugas, pembentukan, serta hubungan alat-alat itu satu sama lain) seperti lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Sedangkan infra struktur politik terdiri dari 5 komponen, yaitu: partai politik, golongan kepentingan, alat komunikasi politik, golongan penekan, dan tokoh politik.
Prasyarat terbentuknya suatu negara demokrasi yang terbentuk dari supra struktur politik dan infra struktur politik. Oleh karena itu, sistem politik Indonesia dibangun oleh dua komponen tersebut, yaitu supra struktur politik dan infra struktur politik. Supra struktur politik merupakan pusat kekuasaan formal negara, sementara infra struktur politik merupakan pusat kekuasaan politik rakyat. Sebagai pusat kekuasaan negara, dua komponen tersebut saling berkaitan satu sama lain.
Supra struktur politik bisa juga diartikan sebagai lembaga-lembaga pembuat keputusan politik yang sah. Lembaga-lembaga tersebut memiliki tugas mengkonversi input yang terdiri dari tuntutan dan dukungan yang menghasilkan suatu output berupa kebijakan publik. Selain itu, supra struktur politik sebagai pusat kekuasaan formal negara juga memiliki wewenang untuk mengatur kehidupan politik rakyat. Supra struktur politik merupakan komponen yang sangat dibutuhkan dalam proses bernegara agar proses pelaksanaannya bisa berjalan dengan baik. Sebab supra struktur politik dapat membentuk regulasi berupa kebijakan publik untuk mengatur negara.
Saat Indonesia memasuki era reformasi, saluran kebebasan berpolitik dibuka seluas-luasnya. Orang berlomba-lomba mendirikan partai-partai politik. Sebagian lainnya melibatkan diri di dalam partai-partai yang bersifat kebangsaan karena merasa aspirasi politiknya ditampung di dalam partai-partai tersebut.
Pentingnya Kepemimpinan yang Berintegritas dan Beretika
Dalam sejarah dan filosofi kepemimpinan terdapat beberapa model atau ungkapan yang positif. Misalnya, menurut John F. Kennedy, kepemimpinan itu dilandasi pada orientasi pengorbanan untuk negara dan bangsa sehingga setiap warga negara diajukan pertanyaan, jangan tanyakan apa yang negara berikan kepada saudara, tetapi pertanyaannya adalah apa yang sudah saudara berikan kepada negara?
Hal lain adalah kepemimpinan dilaksanakan oleh orang yang telah selesai dengan dirinya. Artinya, tidak lagi memikirkan diri, keluarga dan kelompoknya, melainkan kepentingan rakyat banyak.
Linier dengan rumusan Ki Hajar Dewantara tentang filosofi kepemimpinan. Dia menyebut, Ing Ngarso Sung Tulodo, Ing Madyo Mbangun Karso, Tut Wuri Handayani.
In Ngarso Sung Tulodo mengandung arti, di depan menjadi atau memberikan teladan; Ing Madyo Mbangun Karso (memberi spirit dan motivasi), dan Tut Wuri Handayani (dari belakang mendorong/ memberikan dorongan).
Namun dalam praktiknya, pemikiran-pemikiran baik tentang kepemimpinan hilang dan tidak bermakna. Salah satunya karena praktek klientisme. Klientisme dimaknai sebagai relasi kuasa antara aktor politik yang memberikan sesuatu (patron) non programatik dengan pihak yang menerima (klien) yang didasari oleh pemberian loyalitas oleh penerima (paternalistic).
Klientisme merupakan bentuk perilaku koruptif sehingga perilakunya tidak dapat dijadikan contoh, apalagi memberikan motivasi dan dorongan. Praktik kepemimpinan yang menghalalkan secara cara (Machiavelist) dengan menggunakan hukum dan kekuasaan untuk kepentingan klien, keluarga, famili, dan kelompoknya.
Sesungguhnya kita telah memiliki Tap MPR Nomor 6 Tahun 2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa dan Bernegara, khususnya di bidang politik dan kehidupan berdemokrasi.
Artinya, saat ini harus ada kesadaran bahwa kita sedang mengalami krisis kepemimpinan nasional.
Maraknya kasus pelanggaran etik yang dilakukan pimpinan lembaga negara memberikan kesan lemahnya penegakkan etika atau praktik penyelenggaraan pemerintah yang beretika. Bangsa Indonesia sesungguhnya sangat menjunjung tinggi etika dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Hal itu yang mendorong dikeluarkannya Tap MPR No 6 Tahun 2001.
Sejak terjadinya krisis multidimensional, muncul ancaman yang serius terhadap persatuan bangsa dan terjadinya kemunduran dalam pelaksanaan etika kehidupan berbangsa. Hal itu tampak dari konflik sosial yang berkepanjangan, berkurangnya sopan santun dan budi luhur dalam pergaulan sosial, melemahnya kejujuran dan sikap amanah dalam kehidupan berbangsa, pengabaian terhadap ketentuan hukum dan peraturan, dan sebagainya yang disebabkan oleh berbagai faktor yang berasal baik dari dalam maupun luar negeri.
Bentuk-Bentuk Etika Kehidupan Berbangsa dan Pelanggarannya
1. Etika Sosial dan Budaya
Etika Sosial dan Budaya bertolak dari rasa kemanusiaan yang mendalam dengan menampilkan kembali sikap jujur, saling peduli, saling memahami, saling menghargai, saling mencintai, dan saling menolong di antara sesama manusia dan warga bangsa. Sejalan dengan itu, perlu menumbuhkembangkan kembali budaya malu, yakni malu berbuat kesalahan dan semua yang bertentangan dengan moral agama dan nilai-nilai luhur budaya bangsa. Untuk itu, juga perlu ditumbuhkembangkan kembali budaya keteladanan yang harus diwujudkan dalam perilaku.
2. Etika Penegakan Hukum yang Berkeadilan
Etika Penegakan Hukum yang Berkeadilan dimaksudkan untuk menumbuhkan kesadaran bahwa tertib sosial, ketenangan dan keteraturan hidup bersama hanya dapat diwujudkan dengan ketaatan terhadap hukum dan seluruh peraturan yang berpihak kepada keadilan. Keseluruhan aturan hukum yang menjamin tegaknya supremasi dan kepastian hukum sejalan dengan upaya pemenuhan rasa keadilan yang hidup dan berkembang di dalam masyarakat.
3. Etika Ekonomi dan Bisnis
Persoalan pada praktik ekonomi dan bisnis menggambarkan praktik pengeksploitasian sumber daya alam dan mengejar keuntungan untuk diri sendiri.
4. Etika Politik dan Pemerintahan
Etika Politik dan Pemerintahan berkaitan untuk saling menjatuhkan dalam pemerintah, nepotisme, dan korupsi.
5. Etika Keilmuan
Terkait dengan masalah kejujuran dalam aktivitas ilmiah.
6. Etika Lingkungan
Etika dalam menjaga dan melestarikan lingkungan. ®
Be the first to comment