Jakarta, innews.co.id – Sudah menjadi rahasia umum, sejumlah penyelenggara negara di tingkat pusat ditindak lantaran berbagai kasus. Pun, pejabat di daerah ramai-ramai jadi penghuni hotel prodeo gegara terlibat tindak pidana. Semua seolah menjadi cermin betapa minimnya etika dari para penyelenggara negara.
Tak heran, mantan Hakim Agung RI dan praktisi hukum ternama, Prof Dr. Gayus Lumbuun, mengusulkan pembentukan Mahkamah Etik. Salah satunya untuk ‘menghukum’ para penyelenggara negara yang kedapatan melanggar etika selama menjalankan jabatannya.
“Saat ini ada fenomena kekuasaan yang cenderung disalahgunakan. Guna memperoleh kekuasaan sering ditempuh dengan cara-cara yang tidak etis. Kekuasaan menjadi tujuan di dalam dirinya,” kata Prof Gayus Lumbuun, dalam keterangan persnya, di Jakarta, Sabtu (27/7/2024).
Banyak kasus mencuat yang melibatkan penyelenggara negara. Seperti, Anwar Usman Ketua Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) yang dipecat gegara menjadi bagian dari kronisisme, sehingga putusannya dalam meloloskan Gibran Rakabuming Raka jelas menunjukkan keberpihakan. Juga Ketua KPU Hasyim Asy’ari tersangkut kasus perempuan dan Ketua KPK Firli Bahuri dipecat terkait dugaan pemerasan.
“Semua itu menunjukkan telah terjadi pelanggaran etika yang dilakukan oleh para pejabat negara itu. Belum lagi puluhan, bahkan ratusan pemimoun daerah yang terjerat kasus korupsi. Ini jelas memalukan. Mereka yang harusnya menjadi teladan, malah cacat etika,” ujar Prof Gayus.
Selain itu, tumbuh subur praktik klientisme di negeri ini. Klientisme dimaknai sebagai relasi kuasa antara aktor politik yang memberikan sesuatu (patron) non programatik dengan pihak yang menerima (klien) yang didasari oleh pemberian loyalitas oleh penerima (paternalistic).
Klientisme merupakan bentuk perilaku koruptif sehingga perilakunya tidak dapat dijadikan contoh, apalagi memberikan motivasi dan dorongan. Praktik kepemimpinan yang menghalalkan secara cara (Machiavelist) dengan menggunakan hukum dan kekuasaan untuk kepentingan klien, keluarga, famili, dan kelompoknya.
Ilmuwan politik asal Amerika Serikat, Jefry Winters mengatakan, reformasi berhasil membawa Indonesia menjadi negara yang demokratis. Sayangnya, kemajuan di bidang demokrasi tidak diimbangi dengan sistem penegakan hukum yang kuat. Kata Jefry, Indonesia sesungguhnya dipimpin oleh sistem oligarkhi yang didalamnya penuh dengan orang-orang jahat (atau maling). Praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme yang melanda dunia peradilan.
Bentuk Mahkamah Etik
Prof Gayus mengusulkan untuk dibuat Mahkamah Etik yang tugasnya menyidangkan kasus-kasus pelanggaran etik yang dilakukan oleh para pemimpin di negara ini.
“Etika moral itu lebih luas daripada hukum. Seorang pemimpin yang baik harus bisa mengedepankan etika. Misal, seorang kepala negara memarahi secara kasar atau menampar bawahannya. Mungkin secara hukum dianggap ringan, tapi secara etika, bisa diberhentikan dari jabatannya,” ungkapnya.
Pentingnya dibentuk Mahkamah Etik di Indonesia, kata Prof Gayus, agar semua perbuatan, terutama para penyelenggara negara bisa dibawa ke ‘persidangan’ dan diberi hukuman yang setimpal. Kebetulan yang belum punya kode etik itu kan Presiden. Belum ada Etika Kepresidenan.
Adanya Mahkamah Etik juga untuk mendorong terwujudnya filosofi kepemimpinan, seperti yang pernah digaungkan Ki Hajar Dewantara yakni, Ing Ngarso Sung Tulodo (di depan memberi teladan), Ing Madyo Mbangun Karso (ditengah memberi spirit), dan Tut Wuri Handayani (dibelakang memberi dorongan).
“Sejatinya, kita sudah memiliki Tap MPR Nomor 6 Tahun 2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa dan Bernegara, khususnya di bidang politik dan kehidupan berdemokrasi.
Namun sayangnya, itu seperti diabaikan oleh banyak penyelenggara negara saat ini. Tak heran, saat ini kita sedang mengalami krisis kepemimpinan nasional. Krisis kepemimpinan saat ini harus diatasi. Pembentukan Mahkamah Etik menjadi salah satu solusinya,” tegas Prof Gayus. (RN)
Be the first to comment