Jakarta, innews.co.id – Seorang pemimpin di semua strata sejatinya harus memberi teladan kepada orang-orang yang dipimpinnya, bukan malah membuat masalah. Namun, kenyataan di Indonesia tidak demikian. Pelanggaran etika seolah menjadi tren di kalangan penyelenggara negara.
Gambaran itu disampaikan Prof Gayus Lumbuun, mantan Hakim Agung RI, dalam Diskusi Visi Negarawan dengan tema “Mencabik Politik Paternalistik”, di MetroTV, Jumat (26/7/2024). Bahkan, bisa dikatakan saat ini, kita sedang krisis kepemimpinan.
Sudah menjadi rahasia umum, bagaimana Anwar Usman Ketua Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) dipecat gegara menjadi bagian dari kronisme, sehingga putusannya dalam meloloskan Gibran Rakabuming Raka jelas menunjukkan keberpihakan. Juga Ketua KPU Hasyim Asy’ari tersangkut kasus perempuan dan Ketua KPK Firli Bahuri dipecat terkait dugaan pemerasan.
“Semua itu menunjukkan telah terjadi pelanggaran etika yang dilakukan oleh ketiga pejabat negara tersebut. Ini kan memalukan. Mereka yang harusnya menjadi teladan, malah cacat etika,” kritik Prof Gayus.
Dirinya menyebut, banyak pemimpin masa kini minim etika. Itu nampak dari banyaknya muncul kasus-kasus korupsi, penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power), dan lainnya. Dengan kata lain, pemimpin sekarang banyak tersangkut skandal korupsi, kolusi, dan nepotisme. Mereka terjerembab pada harta, tahta, dan wanita. Semuanya bermuara pada etika yang negatif.
Untuk itu, Prof Gayus menilai perlu dibuat Mahkamah Etik yang bertugas menyidangkan kasus-kasus pelanggaran etik yang dilakukan oleh para pemimpin di negara ini.
“Kita butuh pemimpin yang berkarakter. Saat ini, sistem nilai itu rontok. Salah satu karena tidak ada lagi role model,” kata Romo Benny Susetyo, penggiat demokrasi yang juga Staf Khusus Ketua Dewan Pengarah BPIP.
Bicara etika tentu terkait dengan kepatuhan terhadap norma-norma. Kepatuhan itu tahu mana yang pantas dan tidak. Demikian juga pendidikan Pancasila tidak lagi sebatas doktrin, tapi lebih ke aplikasi. “Saat ini kita menghadapi budaya hipokrit, di mana antara realita dan fakta itu berbeda. Pendidikan Pancasila harusnya menjadi kepatuhan etik bagi penyelenggara negara. Jadi, perilaku penyelenggara negara harus sejalan dengan nilai-nilai Pancasila,” imbuhnya.
Ditegaskan, saat ini kita tidak memiliki pemimpin-pemimpin yang berjiwa negarawan. Kultur yang berkembang di negara kita adalah kultur jalan pintas.
Tegakkan etika
Menyitir pendapat S.L. Litman dan J. Suest, Prof Gayus menjelaskan bahwa struktur ketatanegaraan terdiri dari suprastruktur politik dan infrastruktur politik. Suprastruktur adalah kelompok orang yang berkuasa seperti lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Sedangkan infrastruktur politik yang diatur oleh suprastruktur itu, terdiri dari lima komponen, yaitu: partai politik, golongan kepentingan, alat komunikasi politik, golongan penekan dan tokoh politik. Prasyarat terbentuknya suatu negara demokrasi dari suprastruktur politik dan infrastruktur politik.
“Carut marut pemimpin bangsa karena di suprastruktur ini sudah kental nepotisme yang membentuk oligarkhi. Demokrasi sekarang terselubung. Sepertinya bebas, ternyata di dalamnya tidak,” tegas Prof Gayus.
Baginya, kalau demokrasi di Indonesia mau baik, maka hukum dan etika harus ditegakkan. “Kondisi negara kita sedang tidak baik-baik saja karena berbagai pengaruh. Sehingga banyak pimpinan jadi ikut-ikutan jadi tidak baik. Mungkin saat awal jadi pemimpin baik, tapi lama-lama jadi tidak baik,” tukasnya.
Menanggapi hal tersebut, Romo Benny mempertegas, “Kultur di Indonesia itu kental dengan nepotisme, kedekatan, dan kekeluargaan. Ini yang harus diberantas”.
Prof Gayus mencontohkan, mantan Ketua Hakim MK Anwar Usman, yang menurutnya, mungkin di awal baik. Tapi karena pengaruh kepentingan dan sebagainya, jadi bertindak tidak baik. Karenanya, orang baik kalau sudah menduduki jabatan tinggi, belum tentu selamanya berlaku baik.
Seorang pemimpin, sambung Prof Gayus, adalah orang yang telah selesai dengan dirinya. Artinya, tidak lagi memikirkan diri, keluarga dan kelompoknya, melainkan kepentingan rakyat banyak.
Ini sejalan dengan filosofi Ki Hajar Dewantara tentang kepemimpinan. Dia menyebut, Ing Ngarso Sung Tulodo, Ing Madyo Mbangun Karso, Tut Wuri Handayani.
In Ngarso Sung Tulodo mengandung arti, di depan menjadi atau memberikan teladan; Ing Madyo Mbangun Karso (memberi spirit dan motivasi), dan Tut Wuri Handayani (dari belakang mendorong atau memberikan dorongan).
“Kalau sistemnya tidak diperbaiki dan tidak ditata kembali, kita akan terus menghadapi situasi seperti itu. Yang harus kita lakukan adalah membuat kelembagaan, semacam Lembaga Etik, seperti yang diusulkan Prof Gayus,” seru Romo Benny.
Menurutnya, lembaga ini sangat penting. Karena kalau kita bicara etika, itu dimungkinkan ketika sistem nilai dalam masyarakat membangun ekosistem etik ini. Misal, orang malu melakukan korupsi, bukan karena takut dihukum, tapi dianggap sudah melanggar etika. Jadi, nilai kejujuran dan integritas menjadi hal yang utama, bukan kekuasaan.
“Ini harus dilembagakan supaya menjadi habitus masyarakat Indonesia,” tegasnya.
Mahkamah Etik
Prof Gayus menambahkan, seorang pejabat harus bisa menjaga kehormatannya untuk tidak menyimpang, berbeda perkataan dengan perbuatan.
“Etika moral itu lebih luas daripada hukum. Seorang pemimpin yang baik harus bisa mengedepankan hal tersebut. Misal, seorang kepala negara memarahi secara kasar atau menampar bawahannya. Mungkin secara hukum dianggap ringan, tapi secara etika, bisa diberhentikan dari jabatannya,” bebernya.
Pentingnya dibentuk Mahkamah Etik di Indonesia, kata Prof Gayus, agar semua perbuatan, terutama para penyelenggara negara bisa dibawa ke ‘persidangan’ dan diberi hukuman yang setimpal. Kebetulan yang belum punya kode etik itu kan Presiden. Belum ada Etika Kepresidenan.
Romo Benny menimpali, etika itu perintah dan kewajiban untuk menjalankan yang baik dan menghindari yang buruk. Seorang yang memiliki etika tahu mana yang pantas dan layak dilakukan. Kita harus memiliki etika dalam hidup berbangsa dan bernegara. Sehingga para pemimpin memiliki kepatuhan dan standar moral untuk tidak melanggar kepatutan tersebut. “Pelanggaran etis itu hukumannya berat karena ada sanksi, baik sanksi sosial maupun sanksi pada dirinya sendiri. Kita harus membangun ekosistem etika pada penyelenggara negara,” tandasnya.
Romo Benny menegaskan, Kepala Negara sekalipun harus beretika karena menjadi role model dari penerapan etika itu sendiri, sehingga Presiden tidak memanipulasi hukum untuk kepentingan saudara, kerabat, atau orang-orang dekatnya. Jadi, sistem nilainya yang harus dibangun. Kalau tidak ada sistem nilai, berat kita. Itu juga salah satu cara mengatasi politik jalan pintas.
Narasumber lain, Prof Semiarto Aji Purwanto Guru Besar Antropologi Universitas Indonesia, mendukung gagasan Prof Gayus membentuk lembaga etik. “Saya mendukung dibentuknya Lembaga Etik. Itu hal penting sehingga para penyelenggara negara bisa mengutamakan etika dalam melaksanakan tugas jabatannya,” cetusnya.
Gagasan pembentukan Mahkamah Etik harusnya menjadi pertimbangan para pemimpin bangsa kedepan untuk melawan tirani yang mencoba mengobok-obok negara ini dengan memperpanjang dan melanggengkan kekuasaan melalui segala cara. (RN)
Be the first to comment