Jakarta, innews.co.id – Kekeliruan yang dilakukan pemerintah terkait kepemilikan Hotel Salak Bogor, Jawa Barat, begitu nyata. Padahal, para ahli waris memiliki bukti kuat. Bola panas persoalan ganti rugi Hotel Salak kini berada ditangan Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil.
“Telah terjadi kekeliruan dalam pelaksanaan pengambilalihan Hotel Salak karena bertentangan dengan pasal pada Lembaran Negara No. 39 tahun 1958 dan No. 16 tahun 1959,” ungkap Kuasa Hukum Ahli Waris Andreas FK, dalam keterangan resminya yang diterima innews, Senin (17/1/2022).
Dalam perkara ini, lanjut Andreas FK, patut diduga pemerintah telah melakukan perbuatan melawan hukum terhadap kepemilikan Jo Kim Tjoan yang dilakukan untuk kepentingan para penguasa. “Patut diduga Pemerintah telah menutupi kebenaran dan menggunakan kekuasaannya (abuse of power) kepada Jo Kim Tjoan, selaku pemilik sah Hotel Salak, sehingga Jo Kim Tjoan dan ahli waris dibuat miskin tujuh turunan,” tuturnya lagi.
Untuk itu, kata Andreas FK, ahli waris mengajukan klaim ganti rugi nilai bangunan, sewa, tanah sesuai NJOP, dan kerugian immaterial kepada Pemerintah Provinsi Jawa Barat senilai lebih dari Rp 2,7 triliun.
Histori Hotel Salak
Semula, Hotel Salak bernama Hotel Exploitatie Maatchappij, sesuai akte perubahan dari Hotel Binnenhof tanggal 2 Juni 1937. Jo Kim Tjoan, WNI keturunan Tionghoa membeli hotel tersebut dari N.V. Exploitatie Maatchappij pada 20 Juni 1949, di hadapan Notaris Van Der Linden di Jakarta, dengan nomor Akte 108. Selanjutnya, Hotel Salak tersebut dikelola oleh Jo Kim Tjoan.
Diraihnya penghargaan dari Kementerian Luar Negeri kepada Hotel Salak Bogor karena telah membantu menyediakan akomodasi tamu negara peserta konferensi dari 5 negara di Istana Bogor, menjadi bukti kuat kepemilikan hotel oleh Jo Kim Tjoan.
Seiring waktu, pada 21 Januari 1958, secara sepihak, Pelaksana Kuasa Militer Daerah Res. Inf B/III mengeluarkan surat perintah No. SP 5a/I/PKM/58 yang menyatakan mengambil alih Hotel Salak Bogor karena dianggap masih kepunyaan NV Hotel Exploitatie Maatchappij Jakarta. Hotel tersebut selanjutnya berada dibawah Penguasaan Militer Teriterium III dan sebagai perusahaan/perkebunan vital sesuai dengan Keputusan Penguasaan Militer Territerium III No. 76/SPM/1967 tanggal 11 Desember 1957.
Namun, menurut Pasal 60 UU No 74 Tahun 1957 tentang Keadaan Bahaya (Lembar Negara 1757 No. 160, tambahan Negara No. 1485–1957 yang mengganti Regelin SOB 9 Stbl 1939 No.882) dan ketentuan yang dikeluarkan oleh Penguasa Militer Kepala Staf Angkatan Darat, bahwa Keputusan Penguasaan Militer Territerium III No. 76/SPM/1967, dinyatakan gugur dan tidak berlaku dengan sendirinya menurut hukum mulai tanggal 17 April 1958.
“Berkaca pada aturan tersebut, selayaknya Penguasa Perang Daerah mengembalikan Hotel Salak tersebut kepada pemiliknya Jo Kim Tjoan,” tutur Andreas FK lagi.
Kemudian, pada Desember 1958, Presiden RI mengeluarkan UU No. 86 Tahun 1958 tentang Nasionalisasi Perusahaan Milik Belanda. Saat itu, Hotel Salak dianggap Perusahaan Belanda. Namun faktanya, dalam Lembaran Negara No. 31 tahun 1959, No. 53 tahun 1959, No. 121 tahun 1959, No. 4, 5, 6, tahun 1960, No. 19, 35, 89, 90, 99, 106, 149 tahun 1960, tidak ada nama Hotel Salak Bogor sebagai perusahaan milik Belanda.
“Pemerintah telah keliru dalam pengambilalihan Hotel Salak Bogor dan bertentangan dengan pasal pada Lembaran Negara No. 39 tahun 1958 dan No. 16 tahun 1959,” terangnya.
Pun hasil penelitian BPN Bogor, 16 Maret 1991, dalam surat yang ditujukan kepada BPN Provinsi Jawa Barat di Bandung No.570/107/KP/1991 tertanggal 16 Maret 1991 dijelaskan, “Ditinjau dari kewarganegaraan Jo Kim Tjoan selaku pemilik Hotel Salak bukanlah Warga Negara Belanda. Maka, Hotel Salak bukanlah objek yang termasuk dalam UU No. 86 Tahun 1958. Karena inti UU 86/1958 tentang nasionalisasi perusahaan eks Belanda”.
Selanjutnya, BPN Jawa Barat dalam suratnya yang ditujukan kepada Kepala BPN Pusat Jakarta tertanggal 27 Mei 1991 No. 560/1948/AGB/KWHPH tahun 1991 menjelaskan bahwa menurut Nota dari Direktur Kabinet Menteri Pertama kepada Yang Mulia Wakil Menteri Pertama RI 30 Oktober 1961, dimohon Nasionalisasi Hotel Salak agar dicabut dengan pertimbangan bahwa Sdr. Jo Kim Tjoan adalah WNI pada waktu berlakunya UU Nasionalisasi No. 86 tahun 1958.
“Nota dari Direktur Kabinet Menteri Pertama kepada Yang Mulia Wakil Menteri Pertama RI ini kian memperkuat adanya kekeliruan yang dilakukan pemerintah. Di mana seharusnya Hotel Salak dikembalikan kepada Jo Kim Tjoan, selaku pemilik sahnya,” tandasnya.
Selain itu, nyata-nyata Jo Kim Tjoan adalah WNI, bukan warga negara Belanda. Hal ini dapat dibuktikan dari Surat Keterangan Kedutaan Belanda dan Konsulat Inggris yang mewakili Belanda.
Andreas FK juga membeberkan, hingga tahun 1980, Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) Hotel Salak masih atas nama Jo Kim Tjoan. Tercatat dalam No. Kohir 24/04/VII yang masih ditagihkan kepada Ahli Warisnya yaitu, Jo Keng Hoey (Yohannes Suatan)–putra Jo Kim Tjoan pada tanggal 17 April 1980 No. 01/1.P.D/1980.
Di sisi lain, Hak Pengelolaan Lahan (HPL) atas nama Pemerintah Daerah Provinsi Jawa Barat c.q. PD Kerta Wisata patut diduga “Bermasalah” (Cacat Hukum), karena penerbitannya berdasarkan SK dari BPN Pusat Jakarta dengan alasan yang tidak bisa yang terkesan mengada-ngada. Dikatakan karena Jo Kim Tjoan selaku pemilik tidak segera balik nama. Juga karena adanya surat dari Departemen Dalam Direktorat Jenderal Pemerintahan Umum dan Otonomi Daerah (PUOD), serta karena adanya surat Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Jawa Barat. “Pemberian Hak Pengelolaan kepada Pemprov Jabar hanya mempertimbangkan ketiga hal tersebut. Tidak dinyatakan bahwa Hotel Salak Bogor terkena UU Nasionalisasi Perusahaan Belanda No. 86 Tahun 1958. Sampai saat ini Pemprov Jabar yang memperoleh Hotel Salak dari pergerakan Penguasa Perang Daerah (Peperada) sama sekali belum memberikan dan atau membayar ganti rugi kepada pemilik yang sah Jo Kim Tjoan.
Andreas FK juga menyampaikan adanya Surat dari Sekretariat Negara tanggal 5 Nopember 1998 No. B.889/Waseskab/11/98 perihal “Permohonan Pengembalian Hotel Salak, Bogor” kepada Menteri Negara Agraria/Kepala BPN bahwa surat Ny. Christine Joyce Elsye Uway yang memohon kepada Bapak Presiden agar Hotel Salak di Bogor dapat dikembalikan kepada ahli warisnya adalah mengandung kebenaran.
Diterangkan pula, saat ini pihaknya sudah melengkapi dokumen-dokumen pendukung yang telah dilegalisir antara lain, Eigendom No. 495 berikut terjemahannya; Jual beli No. 107 dan No. 108 Th 1949 berikut terjemahannya; Surat Persetujuan dari Badan Pemulihan Hak di Indonesia (Raad Voor Hetrechtsherstel); Surat Keterangan dari BPN Kota Bogor yang menerangkan hasil analisanya bahwa Hotel Salak bukan merupakan objek UU Nasionalisasi, dan lainnya.
Diterangkan pula, Jo Kim Tjoan menikah dengan Song Erlie Nio pada 16 Desember 1964, dan dikarunia satu orang anak Jo Keng Hoey (Yohanes Suatan). Lalu, Yohanes Suatan menikah dengan Joice Elsje Christine Uway dan dikaruniai anak MSSS yang menjadi ahli waris dari Hotel Salak Bogor. Jo Kim Tjoan wafat tahun 1965.
“Kami berharap, Pak Ridwan Kamil selaku Gubernur Jabar bisa dengan menyelesaikan persoalan ini secara tuntas. Apa yang menjadi hak dari ahli waris bisa diberikan sebagai wujud komitmen Negara terhadap warganya,” imbuh Andreas FK.
Dirinya meyakini, Gubernur Jabar memiliki niat tulus untuk menyelesaikan perkara ini. “Sudah cukup selama ini ahli waris merasa menderita dan terabaikan. Padahal, Hotel Salak juga termasuk saksi sejarah di awal-awal Kemerdekaan Indonesia,” tukasnya. (RN)
Be the first to comment