Jakarta, innews.co.id – Pemberian abolisi kepada Tom Trikasih Lembong dan amnesti terhadap Hasto Kristiyanto banyak dipersepsikan oleh berbagai pihak.
“Tentu keputusan ini memiliki implikasi politik. Persis, seperti di 2019 lalu, ketika bagaimana Pak Jokowi yang menjadi Presiden merangkul Prabowo untuk masuk dalam kabinetnya sebagai Menteri Pertahanan. Nampaknya, pola yang sama juga digunakan oleh Presiden Prabowo sekarang ini,” politisi senior Partai Golkar, Capt. Dr. Anthon Sihombing, MM., M.Mar., di Jakarta, Kamis (7/8/2025).
Harus diakui, belum pernah ada persiapan peralihan estafet kepemimpinan sesempurna seperti yang dilakukan oleh Jokowi. Mungkin ini juga ditiru oleh Prabowo.
Karena memang, sejak era Soekarno, peralihan presiden selalu berjalan tidak mulus. Hanya di era Jokowi, di mana penerusnya sudah dipersiapkan jauh-jauh hari.
“Itu pola yang baik dengan mempersiapkan calon pemimpin sejak awal. Saya yakin Prabowo tidak akan lupa kebaikan Jokowi,” imbuh mantan Anggota DPR RI ini.
Baginya, mungkin yang coba merenggangkan hubungan Prabowo dengan Jokowi hanya jealous (cemburu) saja.
Sambil berkelakar, Anthon mengatakan, nama Joko Widodo, belakangnya ‘do’, lalu Prabowo, belakangnya ‘wo’. Kalau disatukan menjadi ‘dowo’, bahasa Jawa yang artinya panjang atau berkelanjutan. “Jadi, tidak aneh kalau chemistry antara Jokowi dan Prabowo nyambung dan klop,” seru Ketua Umum International Maritime Organization (IMO) Watch ini.
Penyeimbang
Tapi harus diingat, lanjut Anthon, di era Soeharto saja, tetap ada partai penyeimbang. Ketika itu Golkar berkuasa, PNI atau PDI dan PPP berperan sebagai penyeimbang. Jadi memang tidak harus semua kekuatan politik disatukan,” ujarnya.
Anthon menegaskan, kekuatan Prabowo sebenarnya luar biasa, baik di masyarakat maupun parlemen. “Berdemokrasi itu bukan berarti semua dipaksakan harus satu haluan. Justru, itu bukan demokrasi namanya,” cetusnya kritis.
Kalau itu yang terjadi, kata Anthon, sama artinya, demokrasi di Indonesia itu cuma omon-omon saja. Sama juga seperti di daerah, orang mau jadi gubernur, bupati/walikota harus bagi-bagi duit. Demokrasi macam apa begitu. “Cost politik memang ada, tapi bukan juga nyawer-nyawer begitu modelnya,” tegas Ketua Umum Ikatan Nakhoda Niaga Indonesia (INNI) ini.
Guna meredam berbagai persepsi publik, ada baiknya pemerintah menjelaskan secara detail dan jujur dasar apa pemberian abolisi dan amnesti ini agar masyarakat memahaminya. Apalagi, abolisi dan amnesti ini diberikan kepada mereka yang diduga melakukan korupsi.
Filsuf hukum Hans Kelsen dan HLA Hart sudah mengingatkan adanya bahaya subjektivitas dan ketimpangan dalam penggunaan abolisi atau amnesti. Muncul pertanyaan filosofis, “Bisakah keadilan bersifat selektif?”
Terkait rumor PDI-P akan masuk Kabinet Indonesia Maju, Anthon beranggapan, ada parpol yang memang mendukung Prabowo sejak awal (pendukung utama), ada yang masuk ditengah, dan mungkin ada juga yang mendukung belakangan.
Dikisahkan, saat Pilpres 2024 lalu, Ketum Golkar secara khusus memerintahkan seluruh kader Golkar dan keluarganya serta relasi-relasi untuk mendukung Prabowo-Gibaran dengan all out.
“Parpol yang mendukung sejak awal jangan ditinggalkan. Sebab, nanti bisa-bisa lepas semua, tinggal Pak Prabowo sendiri bersama Gerindra. Jadi, kalau yang belakangan diberi porsi besar, yang lainnya tentu keberatan,” tukasnya.
Bagi Anthon, harusnya tetap ada parpol penyeimbang, supaya demokrasi Indonesia berjalan sehat. (RN)












































