Sepak Bola dan Politik Anti Kolonialisme

Oleh : Ahmad Zazali, SH., MH*

Penulis adalah Praktisi Sosio-Legal dan Resolusi Konflik; Managing Partner AZ Law Office & Conflict Resolution Center; Ketua Pusat Hukum dan Resolusi Konflik (PURAKA)

MASYARAKAT Indonesia digegerkan dengan adanya pembatalan Indonesia menjadi tuan rumah Piala Dunia U-20 oleh FIFA, dikarenakan adanya penolakan keterlibatan Tim Nasional Israel, oleh beberapa kalangan elit politik, kepala daerah dan organisasi kemasyarakatan di Indonesia.

Laga U-20 sejatinya sudah disiapkan untuk dilaksanakan di enam venue yakni, Stadion Gelora Bung Karno (Jakarta), Stadion Si Jalak Harupat (Bandung), Stadion Gelora Bung Tomo (Surabaya), Stadion Kapten I Wayan Dipta (Bali), Stadion Manahan (Surakarta), dan Stadion Jakabaring (Palembang).

Bertepatan dengan HUT Kemerdekaan Indonesia ke-77, pada 17 Agustus 2022 lalu, Kementerian Pemuda dan Olahraga merilis emblem dan logo Piala Dunia, sembari mengumumkan bahwa terdapat 10 tim sepak bola yang akan tampil dalam Piala Dunia U-20 di Indonesia, yaitu Amerika Serikat, Inggris, Prancis, Israel, Italia, Slovakia, Republik Dominika, Guatemala, Honduras, dan Indonesia.

Dalam berbagai kesempatan, Pemerintah Indonesia menyatakan kesiapan menjadi tuan rumah, dan berbagai spanduk dan baliho banyak dipasang untuk menyambut kehadiran tim nasional dari 10 negara yang akan ikut ajang Piala Dunia U-20 ini. Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia (PSSI) sejak dua tahun lalu telah menyiapkan Timnas Indonesia untuk bertanding di Piala Dunia U-20, karena ini merupakan momentum penting kebangkitan sepakbola Indonesia.

Sejarah mencatat, timnas sepakbola Indonesia hanya pernah mengikuti Piala Dunia pada tahun 1938 di Perancis, dengan nama Hindia Belanda. Kemudian pernah hampir ikut Piala Dunia pada masa kepemimpinan Soekarno-Hatta, dimana pada tahun 1957, timnas sepakbola Indonesia menjuarai Grup 1 Zona Asia setelah menaklukkan Timnas China, dan pada putaran kedua grup zona Asia dan Afrika akan bertemu dengan Timnas Israel, Mesir dan Sudan. Mengetahui hal tersebut, Presiden Soekarno memerintahkan Timnas Indonesia menolak tampil jika harus bertemu dengan Israel. Akhirnya, timnas Indonesia dinyatakan mundur dari ajang Piala Dunia yang puncaknya diadakan di Swedia tahun 1958.

Langkah Indonesia menolak bertemu dengan timnas Israel ini juga diikuti oleh Mesir dan Sudan. Soekarno ketika itu menyatakan bahwa jika Indonesia bertanding satu lapangan dengan Israel itu sama saja mengakui Israel.

Politik Anti Kolonialisme

Sikap Presiden Soekarno menolak timnas sepakbola Indonesia berhadapan dengan timnas Israel tersebut bukan tanpa dasar, karena dalam proses perjuangan secara diplomasi untuk memerdekakan Indonesia dari kolonialisme pada tahun 1944, Bangsa Palestina secara terbuka memberikan dukungan bagi perjuangan kemerdekaan Indonesia melalui berbagai aksi solidaritas di jalanan dan siaran radio.

Tak hanya itu, pada tahun 1944, seorang saudagar kaya Palestina bernama Muhammad Ali Taher menyumbangkan kekayaannya untuk memenangkan perjuangan Kemerdekaan Indonesia. Begitu pula, ketika Indonesia telah memproklamirkan kemerdekaannya dan membutuhkan pengakuan kedaulatan sebagai negara berdaulat, rakyat Palestina tampil secara terbuka mengakui kedaulatan Indonesia, bahkan mereka ikut mendorong Mesir untuk mengakui hal yang sama pada tahun 1947.

Tidak lama setelah Kemerdekaan Indonesia mendapat pengakuan dunia, sudah beberapa kali upaya Israel untuk menjalin hubungan diplomatik dengan Indonesia, namun Soekarno-Hatta secara konsisten menolak dan tetap menganggap Israel sebagai penjajah yang telah merampas tanah rakyat Palestina. Upaya menggalang dukungan negara-negara Asia Afrika juga dilakukan oleh Soekarno, salah satunya ketika penyelenggaraan Konferensi Asia Afrika (KAA) tahun 1955, Soekarno mengundang Palestina untuk hadir, meskipun belum diakui dunia sebagai sebuah entitas negara yang merdeka.

Apa yang dilakukan Soekarno pada tahun 1957 yang menolak timnas sepakbola Indonesia bertemu satu lapangan dengan timnas Israel adalah bentuk lain dari gerakan anti kolonialisme dan mendukung Palestina menjadi sebuah negara berdaulat. Bukan hanya pada even Piala Dunia sepakbola, bahkan ketika Indonesia menjadi tuan rumah Asian Games tahun 1962, Pemerintah Indonesia tegas menolak memberikan visa kepada kontingen Israel, sehingga menyebabkan Indonesia diskors keanggotaannya oleh Komite Olimpiade Internasional (IOC).

Pada tahun 1963, Soekarno memerintahkan Komite Olimpiade Indonesia keluar dari keanggotaan IOC, kemudian melancarkan perlawanan dengan membentuk Ganefo (Games of the New Emerging Forces) sebagai tandingan, dan berhasil menggelar ajang olahraga dengan meriah di Jakarta, 10-22 November 1963 yang diikuti oleh 51 negara di Asia, Afrika, Europa dan Amerika Latin. Ketika itu tercatat sedikitnya 2.700 atlet bertanding di 20 cabang olahraga, dan Republik Rakyat China keluar sebagai juara satu, diikuti oleh Uni Soviet di peringkat kedua dan Indonesia di peringkat ketiga.

Dalam banyak kesempatan Soekarno secara lantang menyatakan bahwa “Selama kemerdekaan bangsa Palestina belum diserahkan kepada orang-orang Palestina, maka selama itulah bangsa Indonesia berdiri menantang penjajahan Israel”. Maka tidak heran jika doktrin Soekarno ini dijadikan landasan konstitusional yang ada dalam Pembukaan UUD 145, dan masih dipedomani sebagai ‘ajaran suci’ bagi para pengagum dan pengikut setianya.

Hal inilah yang menjadi landasan bagi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) melakukan penolakan kehadiran timnas Israel pada ajang Piala Dunia U-20 yang sedianya akan dilaksanakan di Indonesia, Mei – Juni 2023 mendatang.

Sepakbola Olahraga Semua Golongan

Kendati terdapat landasan historis dan ideologis yang kuat terkait penolakan kehadiran timnas Israel, pembatalan Indonesia sebagai tuan rumah Piala Dunia U-20 banyak menyisakan kekecawaan bagi para penggemar sepakbola se-Nusantara.

Hampir setiap tempat di pelosok Nusantara sering menyelenggarakan kompetisi-kompetisi sepakbola mulai dari tingkat desa atau kampung, tingkat kecamatan, kabupaten/kota, provinsi hingga nasional.

Jika saat ini di Indonesia terdapat 34 provinsi, 7.230 kecamatan, 514 kota/kabupaten, 83.449 desa/kelurahan, maka bisa dibayangkan jumlah kompetisi dan penggemar sepakbola di Indonesia.

Momentum pertandingan sepakbola juga identik dengan kejuaraan-kejuaraan menjelang perayaan Hari Kemerdekaan Indonesia, maupun memperingati hari jadi provinsi hingga hari jadi kabupaten/kota, yang dikenal sebagai Presiden Cup, Gubernur Cup, Bupati/Walikota Cup.

Kompetisi sepakbola biasanya dimulai dari internal desa, antar-desa, antar-kecamatan, antar-kabupaten/kota, dan antar-provinsi. Sehingga tidak mengherankan jika yang terpilih menjadi timnas sepakbola Indonesia juga berasal dari hasil kompetisi dari desa-desa di berbagai pelosok Nusantara. Dengan demikian, sepakbola dapat dikatakan sebagai olahraganya semua lapisan dan golongan masyarakat, mulai dari wong cilik hingga penguasa dan mulai dari desa hingga kota.

Masa Depan Sepakbola

Bayangan suram akan sanksi dari FIFA kepada PSSI dapat menyebabkan industri persepakbolaan di Indonesia kehilangan gairah untuk berkembang. Sanksi terberat yang bisa dijatuhkan FIFA adalah pengucilan timnas Indonesia dari semua perhelatan sepakbola dunia, sehingga tidak bisa berpartisipasi pada ajang laga internasional.

PSSI dituntut menggunakan segala peluang diplomasi dan lobi untuk menyelamatkan masa depan industri sepak bola Indonesia. Kepemimpinan Erick Thohir sebagai Ketua Umum SPSI menghadapi ujian yang berat, karena harus berjuang keras meloloskan Indonesia dari sanksi berat dari FIFA. Pada saat bersamaan juga dituntut untuk mampu mengobati gejolak kekecewaan di tengah masyarakat yang masih terasa hingga saat ini.

Pemerintah, pengamat, politisi dan para penggemar bola diharapkan dapat memetik pelajaran berharga, dan merenungkan kembali, apakah masih relevan menjadikan olahraga sebagai simbol politik anti kolononialisme di masa depan. ®

Be the first to comment

Tinggalkan Balasan