Jakarta, innews.co.id – Perempuan dan anak merupakan kelompok yang paling rentan terdampak perubahan iklim. Bahkan menurut data Unicef, Indonesia masuk 50 negara teratas di dunia di mana anak-anaknya paling berisiko terpapar perubahan iklim dan kerusakan lingkungan.
Hal tersebut dikatakan Ketua Umum Pita Putih Indonesia (PPI) Dr. Giwo Rubianto Wiyogo, dalam diskusi dengan awak media, di Jakarta, Selasa (10/12/2024).
“Perempuan dan anak merupakan kelompok yang paling merasakan dampak perubahan lingkungan dan iklim,” kata Giwo.
Menurutnya, sejauh ini kalau dari sisi pelayanan kesehatan masih dapat dikendalikan. Akan tetapi, bicara perubahan iklim yang berdampak pada kesehatan ibu dan anak belum dapat dikendalikan.
Giwo beranggapan, perlu upaya bersama untuk menyuarakan dampak perubahan iklim tersebut pada perempuan dan anak. “Dengan memberi pemahaman yang baik, diharapkan dapat mengurangi dampak perubahan iklim,” tuturnya.
Dirinya mencontohkan, berbagai krisis di dunia termasuk bencana alam dan peperangan yang paling banyak menjadi korban adalah kaum perempuan dan anak. Padahal, di pundak merekalah masa depan bangsa dipertaruhkan.
Giwo mengusulkan agar pemerintah memiliki rancangan utama yang jelas dan terencana dalam melakukan mitigasi dan adaptasi terhadap dampak perubahan iklim terhadap kesehatan.
Dengan rencana aksi yang sistematis dan terintegrasi, maka dapat memastikan bahwa langkah-langkah pencegahan dan respons terhadap perubahan iklim dapat dilaksanakan secara efektif. Dengan demikian, masyarakat, khususnya perempuan dan anak, dapat lebih siap dalam menghadapi risiko-risiko kesehatan yang akan makin meningkat, serta memastikan perlindungan yang optimal bagi generasi mendatang.
Kerugian
Pada bagian lain, Ketua Pelaksana Harian PPI, dr. Heru Kasidi, MSc., menguraikan bahwa perubahan iklim di Indonesia berpotensi menimbulkan kerugian sampai 3,5 persen dari produk domestik bruto (PDB) pada 2050.
Dia menjelaskan, kerugian akibat penyakit DBD dan malaria saja diperkirakan akan bernilai Rp 45 trilliun. Selain itu, dampaknya pada kerusakan lingkungan berpotensi menyebabkan kehancuran yang permanen.
“Ini perlu menjadi perhatian bersama karena perubahan iklim seperti suhu udara memiliki dampak besar, misalnya, kelahiran prematur yang meningkat 6–16 persen di kawasan Amerika Utara, Eropa, Australia, Selandia Baru, Sub Sahara, dan China,” bebernya.
Hasil pemantauan Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) pada 2023, suhu udara rata-rata 27,2 derajat celcius atau mengalami anomali 0,5 derajat celcius dibandingkan periode 1991–2020.
Dokter M Baharuddin SpOG., MARS., dari Lembaga Kesehatan Budi Kemuliaan menguraikan, periode 2030-2050, dampak perubahan iklim diperkirakan menyebabkan bertambahnya kematian sebanyak 250.000 per tahun karena malnutrisi, malaria, diare dan dampak dari stres.
Tak hanya itu, sebanyak 150 juta penduduk di perkotaan juga akan mengalami kekurangan air bersih pada tahun 2050 dan 1,5 miliar orang diperkirakan tidak mempunyai akses pada sanitasi. Perubahan komposisi penduduk ke arah penduduk tua juga akan menyebabkan kerentanan yang besar terkait dengan penyakit degeneratif. (RN)










































