Jakarta, innews.co.id – Mahkamah Agung RI tidak memiliki kewenangan membekukan berita acara sumpah (BAS) advokat.
“Sumpah advokat memiliki dasar undang-undang yang jelas, sekaligus menegaskan bahwa advokat adalah profesi yang diatur dengan dasar hukum, dan bahwa berita acara sumpah merupakan dokumen formal yang dicatat dan dilaporkan,” kata Yovie Megananda Santosa, SH., MSi., Anggota Komisi Pengawas DPN Peradi, di Jakarta, Kamis (6/11/2025).
Dirinya mencontohkan pembekuan BAS Firdaus Oiwobo oleh MA, beberapa waktu lalu. Menurutnya, tidak Ada ketentuan dalam UU Advokat yang menyebut MA bisa menonaktifkan/membekukan BAS.
“UU Advokat mengatur bahwa advokat disumpah dan berita acara sumpah dikirim ke MA. Namun tidak terdapat pasal yang memberi MA kewenangan untuk mencabut, membekukan, atau menonaktifkan BAS atau status advokat tanpa prosedur organisasi advokat (OA). Artinya, MA tidak diberikan fungsi adjudikasi etik advokat dalam UU ini,” ujarnya.
Ditambahkan, UU sepenuhnya menyerahkan penindakan kepada OA, termasuk pemberhentian sementara atau tetap, dan hanya menyebut MA sebagai penerima salinan keputusan.
Seperti pada UU Advokat Pasal 8 yang menyatakan bahwa penindakan dilakukan oleh Dewan Kehormatan Organisasi Advokat, dan dalam hal pemberhentian sementara atau tetap, organisasi advokat menyampaikan putusan kepada MA. Lalu Pasal 9 ayat (1) menyatakan bahwa advokat dapat berhenti atau diberhentikan dari profesinya oleh organisasi advokat. Dan, ayat (2) menyebut bahwa salinan surat keputusan pemberhentian disampaikan kepada MA, Pengadilan Tinggi, dan lembaga penegak hukum lainnya.
“Dari ketentuan di atas jelas bahwa yang memiliki wewenang untuk penindakan disipliner atau pemberhentian advokat adalah OA melalui Dewan Kehormatan, bukan secara langsung MA. Dan, MA hanya menerima salinan pemberhentian dari OA,” jelasnya.
Ultra Vires
Yovie menegaskan, jika MA melakukan pembekuan BAS atas advokat tanpa melalui proses organisasi advokat, maka dapat dikatakan MA menjalankan tindakan yang melampaui kewenangan yang diatur (ultra vires).
“Hal ini berpotensi melanggar asas legalitas (tidak ada aturan yang mengatur) dan asas due process (prosedur hak atas pembelaan OA),” imbuhnya.
Dia menegaskan, karena advokat berdiri di posisi “penegak hukum” yang bebas dan mandiri (Pasal 5 UU Advokat) dan profesinya diatur secara otonom melalui organisasi profesi, tindakan yang memotong kewenangan tersebut dapat mengancam kemerdekaan profesi advokat dan menimbulkan preseden yang merugikan.
Lebih jauh Yovie mengatakan, apabila MA tetap melakukan tindakan tersebut, maka perlu dipertimbangkan upaya hukum untuk menguji legalitas tindakan itu, baik melalui PTUN atau judicial review agar tidak menimbulkan ketidakpastian profesi advokat dan memastikan mekanisme yang adil.
“Reformasi regulasi mungkin diperlukan agar kewenangan lembaga-lembaga seperti MA lebih terang dalam hubungannya dengan profesi advokat. Atau agar ada pelimpahan kewenangan yang jelas antara MA dan OA dalam hal pengawasan dan sanksi,” tukasnya. (RN)












































