Dr. Roy Rening: “Politik Dinasti Berpotensi Bikin Gaduh Negara”

Praktisi hukum sekaligus pengamat politik Dr. Stefanus Roy Rening

Jakarta, innews.co.id – Di Indonesia, orang ikut partai politik bisa cepat kaya. Tak heran, bila Bapaknya ikut berpolitik, pasti akan menarik anak atau keluarganya untuk masuk partai politik. Cara berpikir banyak politisi di Indonesia masih instan dan itu tidak mendidik bangsa ini.

Pandangan kritis itu disampaikan praktisi hukum sekaligus pengamat politik Dr. Stefanus Roy Rening kepada innews, di Jakarta, Rabu (17/3/2021). “Pertanyaannya, apakah hanya keluarganya saja yang bisa memimpin parpol, mentang-mentang Bapaknya dulu jadi Ketum sebuah parpol,” tegas Roy.

Berkaca pada polemik Partai Demokrat, menurut Roy, kalau saja pihak lain diberi kesempatan memimpin partai ini, tentu ceritanya akan berbeda. “Tapi ini kan tidak. Maunya semua keluarganya saja. Ini preseden buruk dan menimbulkan gejolak di internal karena yang lain merasa tidak mendapat kesempatan yang sama. Partai ini mau dikuasai oleh dinastinya saja. Terlalu dipaksakan,” papar Roy yang juga eks Ketua Umum PKDI ini.

Menurutnya, banyak orang hanya melihat parpol sebagai peluang untuk memperkaya keluarganya. Sementara rakyat cukup melihat bendera partainya berkibar-kibar di jalan-jalan.

Dikatakannya, saat ini politik dinasti tidak lagi pas di Indonesia. “Parpol memiliki tujuan meraih kekuasaan yang dipergunakan untuk memperjuangkan kepentingan rakyat. Untuk itu, parpol haruslah bersikap terbuka dan membuka diri. Siapa figur yang dinilai paling pas memimpin, ya silahkan saja. Tidak lantas dikuasai turun temurun. Ini sangat berbahaya,” tukasnya.

Lebih jauh Roy mengatakan, kalau sistem rekruitmen di parpol tidak jalan. Juga distribusi kekuasaan tidak merata dan adil, maka pasti akan muncul pemberontakan dan barisan sakit hati.

Dia menambahkan, dari awal Demokrat tidak dibangun secara dinasti, melainkan terbuka. Berbeda dengan PDI-P atau Nasdem. “Sejauh ini Partai Golkar yang cukup berhasil membangun sistem rekruitmen,” tandasnya lagi.

Urusan parpol, sambung Roy, jangan diredusir menjadi urusan keluarga. Sebab hal itu tidak mungkin dijalankan. “Kesalahan Demokrat karena SBY terlalu memaksakan AHY masuk dan menjadi Ketum. Padahal, pengalaman dan jam terbangnya masih minim. Karena dua hal itu sangat penting dalam berpolitik,” cetusnya.

Kalau SBY bijak, ujar Roy, sejak awal kasak-kusuk mau KLB, sudah dipanggil lalu dibicarakan persoalannya dan dicarikan jalan tengah bersama. Pasti tidak ada sedemikian jauh kemelut di tubuh Demokrat. “Sekarang malah hanya bikin statement sana-sini, menyalahkan pemerintah, sowan ke sana-sini minta dukungan. Itu cermin ketidakdewasaan kepemimpinan Demokrat saat ini,” kata Roy.

Kalau perlu, lanjut dia, baku adu dalam kongres bersama. Siapa yang paling kuat dia yang akan memimpin. Bukan melebar-lebarkan masalah kemana-mana.

Apa yang dialami Demokrat, menurut Roy, menjadi pelajaran bagi semua parpol. Meski memang hampir semua parpol pernah mengalami konflik internal serupa.

“Persoalan Demokrat bukan melulu masalah hukum, tapi juga politik. Jangan selalu melihat persoalan parpol sebagai masalah hukum murni. Jadi, ketika Anda melakukan strategi yang salah, bisa jadi blunder,” sergahnya seraya mengatakan, kemungkinan KLB Demokrat disahkan oleh Kemenhukam bisa terjadi. (RN)

Be the first to comment

Tinggalkan Balasan