Oleh: Eko Sulistyo
Penulis adalah Komisaris PT PLN (Persero)
UNGKAPAN Presiden Joko Widodo yang mengatakan jika Indonesia yang kaya cadangan nikel dan Australia sebagai produsen terbesar litium saling bekerja sama, maka akan menjadi upaya global yang hebat untuk memprosikan transportasi rendah emisi untuk masa depan yang lebih hijau.
Kerja sama ekonomi strategis ini akan menjadikan Indonesia dan Australia memimpin revolusi kendaraan listrik (EV). Kedua negara memiliki sumber daya nikel dan litium berlimpah yang menjadi bahan baku utama bateri EV.
Ambisi Presiden Joko Widodo untuk mengembangkan produksi baterai EV dengan Australia kini mulai terealisasi saat Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia menandatangani “rencana aksi” dengan negara bagian Australia Barat tentang rantai pasokan mineral penting untuk komponen bateri EV. Kerja sama ini adalah salah satu hasil penting, selain kolaborasi bilateral lainnya, dalam kunjungan kenegaraan Presiden Joko Widodo di Sydney, 3-5 Juli 2023.
Sejak Perjanjian Kemitraan Ekonomi Komprehensif Indonesia-Australia (IA-CEPA) yang efektif berlaku dua tahun lalu, penjajakan kemitraan pengembangan industri manufaktur EV sudah dilakukan. Peluang itu meliputi kemitraan komersial diseluruh pasokan dan pemrosesan mineral, manufaktur baterai dan kendaraan, platform teknologi, dan infrastruktur pengisian daya.
Australia menawarkan mineral seperti litium yang dibutuhkan untuk menggerakkan baterai EV, keahlian pengembangan baterai, dan rekayasa presisi. Indonesia menawarkan kemampuan pembuatan mobil yang matang dan beberapa cadangan nikel terbesar di dunia, yang juga digunakan dalam produksi baterai. Pemerintah Indonesia juga sudah merencanakan membangun ekosistem pengembangan industri baterai dan manufaktur EV terintegrasi dalam 10 tahun ke depan.
Bagi Indonesia dan Australia, kerja sama strategis ini mencerminkan kolaborasi ekstraksi sumber daya dengan memberi nilai tambah dan berkelanjutan untuk memastikan rantai pasokan yang stabil untuk produksi baterai listrik. Kemitraan ini juga dapat menarik investasi dan menciptakan lapangan kerja di kedua negara, memanfaatkan keahlian manufaktur Australia yang canggih dan industri manufaktur otomotif Indonesia yang mapan.
Produsen Litium
Selain sebagai pemain penting di pasar energi global, Australia memiliki potensi memainkan peran kunci dalam menyediakan mineral penting dan teknologi baru untuk transisi energi bersih secara global. Australia memiliki keunggulan kompetitif global dari cadangan geologis mineral kritis yang melimpah.
Menurut Climate Energy Finance (2023), Australia tercatat sebagai produsen terkemuka dunia litium yang belum diproses sebesar 46% pada 2021, meningkat menjadi 79% dengan ekspor mencapai US$ 16 miliar pada 2023, naik 15 kali lipat dalam dua tahun.
Australia menghasilkan kobalt terbesar ketiga di dunia, dan pengekspor tembaga, nikel dan tanah jarang terbesar keempat. Australia juga memiliki peluang signifikan dalam amonia hijau, alumunium hijau, dan hidrogen hijau, dan pengembangan industri teknologi bersih seperti elektroliser dan baterai listrik.
Dalam Australia’s progress on the energy transition 2023, Australia sedang meningkatkan dekarbonisasi listriknya secara signifikan pada 2030, dengan 82% pangsa pembangkitnya berasal dari energi terbarukan, naik 27% dari saat ini.
Sebagaian besar sumber daya litium Australia terletak di Australia Barat, seperti Greenbushes, Mount Marion, Mount Holland atau proyek litium Earl Grey, Pilgangoora, Mount Cattlin, dan proyek Kathleen Valley.
Sebagai produsen dan pengekspor litium terbesar di dunia, dan sumber daya mineral penting lainnya, Australia diposisikan untuk memanfaatkan permintaan pasar yang meningkat. Seperti dilaporkan Badan Energi Internasional (IEA, 2023), permintaan global untuk litium dapat tumbuh 42 kali lipat pada 2040. Sementara komponen kunci lainnya untuk teknologi baterai, termasuk grafit, kobalt, nikel, dapat tumbuh 19-25 kali lipat dalam periode yang sama.
Produsen Nikel
Sebagai produsen nikel terbesar di dunia, Indonesia telah mengambil sikap yang menekankan pentingnya peningkatan nilai tambah nikel melalui kebijakan pelarangan ekspor bijih nikel. Keberhasilan hilirisasi nikel ini juga dibuktikan dengan pabrik pengolahan nikel atau smelter, yang pada 2023 diperkirakan ada 43, dan akan ditingkatkan menjadi 136 smelter pada 2025.
Hasil tambang nikel Indonesia, mengacu data International Nickel Study Group (INSG, 2023), tumbuh sebesar 48% menjadi 1,58 juta ton pada 2022 dan sebesar 44% lainnya dalam dua bulan pertama 2023.
Nikel secara tradisional digunakan dalam baja tahan karat tetapi semakin banyak digunakan di sektor baterai karena adopsi EV yang meluas. Berdasarkan US Geological Survey (USGS) edisi 2021, cadangan nikel global diperkirakan mencapai 94.000.000 metrik ton, dan 22,4% dari cadangan itu berada di Indonesia dengan total luas pertambangan nikel di Indonesia mencapai 815.700 hektar.
Indonesia adalah rumah penyimpan nikel terbesar di dunia, dengan mayoritas penambangannya berlokasi di Sulawesi, Maluku, dan Papua.
Secara eksponensial permintaan nikel global terus tumbuh. Sejak awal 2021, mengacu GlobalData (2022), harga nikel dunia meningkat dari sekitar US$ 15.00 per ton menjadi lebih dari US$ 22.000 per ton pada Januari 2022, merupakan tingkat tertinggi sejak Agustus 2011 di London Metal Exchange.
Ke depan, produksi nikel diperkirakan akan tumbuh dengan tingkat pertumbuhan tahunan gabungan (CAGR) sebesar 3,0%, mencapai 2.730,6 kilo ton pada 2025, di mana Indonesia, Rusia, Kanada, dan Filipina akan menjadi kontributor utama pertumbuhan ini.
Secara ekonomi Indonesia mendapat keuntungan jumbo dari hilirisasi nikel sejak menghentikan ekspor nikel mentah pada 2020. Terbukti, pada 2022 nilai tambah dari “harta karun” nikel itu melejit signifikan. Pada 2023 nilai tambah ditargetkan naik mencapai US$ 38 miliar, yang bermanfaat dalam menghadapi resesi ekonomi dan ketidakpastian global.
Selain dibanjiri investasi, pemerintah Indonesia pada 2021 melalui Indonesia Battery Corporation (IBC) bekerja sama dengan konsorsium Korea Selatan, Hyundai Motor Company dan LG Energy Solution, memproduksi sel baterai EV sebesar 10 gigawatt jam (GWh), dengan nilai US$ 1,1 miliar. Indonesia juga telah menetapkan target nasional untuk mencapai 2 juta EV dan 13 juta sepeda motor listrik pada 2035.
Ini akan membutuhkan produksi hampir 800.000 ton baterai litium, yang diharapkan dapat dipenuhi oleh produksi dalam negeri. Inilah kesempatannya, bagi Indonesia dan Australia berada di posisi yang tepat mendiversifikasi dan mengekstrasi nilai sumber daya geostrategisnya untuk memberi nilai tambah pada komoditas.
Kemitraan ini tentunya semakin mendekatkan impian Indonesia menjadi “raja” baterai listrik dunia bukanlah hal yang mustahil. ©
Be the first to comment