Jakarta, innews.co.id – Penyelesaian kasus ijazah mantan Presiden RI Joko Widodo terlalu berlarut, bahkan sampai 5 tahun. Dikhawatirkan lamanya proses tersebut bisa mengakibatkan keadilan yang diharapkan tidak akan tercapai.
Gelar perkara khusus yang dilakukan oleh Polda Metro Jaya, Senin (15/12/2025), diharapkan bisa menjadi instrumen yang bisa menyelesaikan perkara tersebut dengan cepat dan tepat.
Harapan itu disampaikan mantan Hakim Agung RI, Prof Gayus Lumbuun, dalam dialog ‘Catatan Demokrasi’ di TV One, Selasa (16/12/2025) malam.
“Dalam dunia hukum, terlebih menyangkut penyelesaian suatu perkara dikenal konsep Contante Justice yakni, peradilan yang berjalan cepat yang tujuannya untuk memberikan kepastian hukum dan melindungi hak pencari keadilan. Juga kerap disebut dengan speedy trial,” kata Prof Gayus.
Menurutnya, penerapan konsep hukum tersebut juga dituangkan dalam UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, di Pasal 50 dan Pasal 2 ayat (4). “Untuk mendapat keadilan yang benar, maka proses hukum harus dilakukan dengan cepat.
Sebaliknya, bila peradilan tidak berjalan cepat, yang terjadi adalah justice delayed is justice denied yang artinya, keadilan yang terlambat, keadilan yang ditolak atau yang tidak berguna.
“Lamanya penyelesaian suatu perkara bisa mengakibatkan pengadilan sulit untuk mencari keadilan. Ini dikarenakan unsur-unsur hukum kemungkinan besar bisa berubah, seperti saksi, alat bukti, barang bukti, dan sebagainya,” terang Founder Sekolah Tinggi Ilmu Hukum (STIH) Profesor Gayus Lumbuun ini.
Dia menilai, sepertinya kasus ijazah Jokowi masuk pada kategori justice delayed is justice denied.
Bila suatu perkara yang sudah delay begitu lama masuk peradilan, maka hakim berpotensi memiliki pertimbangan yang kurang memadai dan muaranya menghasilkan proses hukum yang tidak lengkap (onvoldoende gemotiveerd).
Gelar perkara khusus
Harapan muncul dengan adanya gelar perkara khusus yang dilakukan kepolisian. Prof Gayus menegaskan, kita hargai upaya kepolisian melakukan gelar perkara khusus untuk memeriksa keseluruhan perkara tersebut.
Prof Gayus menilai, gelar perkara khusus adalah penentu dalam proses hukum di kasus tersebut.
“Bila gelar perkara sudah dilakukan secara lengkap, tinggal Ketua Gelar Perkara Khusus akan memutuskan, apakah akan melanjutkan perkara ini ke pengadian atau dihentikan. Kewenangan tentu ada pada Ketua Gelar Perkara Khusus,” imbuhnya.
Prof Gayus mengajak seluruh masyarakat untuk mempercayakan hasil dan keputusan gelar perkara khusus tersebut kepada pihak yang berwenang.
“Intinya adalah rakyat Indonesia menginginkan kasus ini bisa diselesaikan dengan cepat, sehingga tidak menguras energi dan hanya memunculkan polemik yang seolah tak ada ujungnya. Kepastian hukum dan keadilan harus dimunculkan, bukan semata menggoreng-goreng kasus ini saja,” tukasnya. (RN)












































