Prof Gayus Lumbuun Ingatkan Acuan Vonis Harus Pada Perbuatan, Bukan Status JC

Prof. Dr. Gayus Lumbuun, mantan hakim agung dan mantan Ketua Ikatan Hakim Indonesia (Ikahi) cabang MA

Jakarta, innews.co.id – Secara hukum, vonis yang diberikan kepada seseorang harus memperhatikan perbuatan yang dilakukan, meski orang tersebut berstatus justice collaborator (JC).

“Bukan berarti lantaran seseorang menjadi JC harus dihukum ringan. Berat ringannya suatu hukuman bergantung pada perbuatan orang tersebut,” kata Prof Gayus Lumbuun mantan Hakim Agung, dalam keterangan resminya, di Jakarta, Sabtu (4/2/2023).

Menurutnya, bisa saja dengan menjadi JC, hukuman berkurang. Namun tidak lantas signifikan meringankan atas perbuatan yang dia lakukan. “Seorang JC tetaplah terdakwa, di mana memiliki beban delik dakwaan yang tidak hilang.

“Sesuai Undang-Undang Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban, seorang JC memiliki hak-hak tertentu. Tapi di sisi lain dia juga tetap seorang terdakwa. Biar hakim nanti yang akan menilai. Tapi masyarakat harus memahami bahwa tidak lantas seorang menjadi JC lantas hukumannya pasti ringan,” urai Prof Gayus.

Dijelaskan, dalam UU LPSK disebutkan bahwa seorang JC mendapatkan kehormatan diberikan hukuman yang lebih rendah dari terdakwa lain. Namun, seorang JC harus bekerja sama dengan penegak hukum.

Prof Gayus menerangkan, perlu penjelasan ke publik supaya masyarakat tidak memandang bahwa JC adalah segalanya. Dengan kata lain jangan sampai masyarakat berpandangan seorang JC sudah pasti mendapatkan hukuman ringan.

“Seolah JC sudah pasti dapat itu (hukuman yang lebih ringan dari seharusnya). Hakim juga akan menilai apakah informasi dari JC sesuai dengan yang dibutuhkan atau tidak. Karena banyak juga JC yang ditolak hakim. Penyebabnya, rekomendasi tidak sesuai dengan apa yang ditemukan di JC,” serunya.

Lebih jauh Prof Gayus mengatakan, dalam kasus Richard Eliezer, tetap dia adalah seorang terdakwa yang mengeksekusi Brigadir J. “Kalaupun Eliezer dikurangi hukuman pidananya, bukan karena seorang JC, tapi harus karena perbuatannya,” serunya.

Dicontohkan, pidananya berkurang karena dia hanya menjalankan perintah atasannya. “Jadi, jangan berpikir JC itu pasti mendapatkan keringanan hukuman,” jelas dia.

Prof Gayus mengatakan, tuntutan hukuman 12 tahun terhadap Eliezer yang disampaikan JPU sudah menggambarkan karena terdakwa berstatus JC. Sebab kalau bukan JC, bisa jadi tuntutan hukumannya sama dengan Ferdy Sambo.

Sebab, Sambo sebagai orang yang menyuruh dan Eliezer mau untuk disuruh membunuh Brigadir J.

Prof Gayus berharap masyarakat bisa memahami hal tersebut. Dengan kata lain, kalau ingin menyampaikan pendapat harus tetap dengan logika agar tidak absurb.

“Guna menciptakan legal justice (keadilan hukum) kita harus mengedepankan social justice (keadilan sosial), bukan street justice (keadilan jalanan). Seorang yang mengedepankan social justice, tentu sudah mengetahui permasalahan dan bisa memberi masukan secara baik dan santun. Sementara street justice hanya bisa bicara tapi tidak menguasai permasalahan. Sehingga yang muncul hanya cacian dan hinaan saja. Ini yang bahaya karena bisa membentuk opini publik yang tidak sehat,” pungkasnya. (RN)

Be the first to comment

Tinggalkan Balasan