Jakarta, innews.co.id – Laporan Bank Dunia menyebutkan, pada dua jenis penilaian, Indonesia mendapat peringkat 0 yakni, kepailitan lintas batas dan ketersediaan kerangka hukum, pengakuan atas putusan atau proses kepailitan lintas batas. Dan, ketersediaan kerangka hukum kerjasama dengan pengadilan asing maupun praktisi kepailitan asing.
Karena itu, dipandang penting merevisi UU Kepailitan dan PKPU agar beradaptasi dengan perkembangan zaman. Cross-Border Insolvency dijadikan solusi dalam persoalan kepailitan dan PKPU lintas negara.
Hal tersebut menjadi pembahasan khusus dalam rangka ulang tahun Firma Hukum Siregar Setiawan Manalu Partnership (SSMP) ke-10. SSMP mengadakan seminar UNCITRAL Model Law on Cross-Border Insolvency: Reformasi Pengaturan Terkait Kepailitan Lintas Batas Dalam Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan PKPU di Hotel Ayana, Jakarta, Kamis (14/8/2025).
“Saat ini, UU Kepailitan dan PKPU belum beradaptasi dengan perkembangan zaman,” kata Wakil Menteri Hukum, Prof Edward Omar Sharif Hiariej, pada kegiatan tersebut.

Dijelaskan, perkembangan bisnis membuat seseorang bisa memiliki harta di beberapa negara. Namun, kepailitan sebagai bagian dari hukum perdata khusus kerap menjadi hambatan. Tidak mudah bagi suatu pihak untuk melakukan eksekusi terhadap aset pailit debitur yang ada di Indonesia.
“Ini ibarat buah simalakama. Di satu sisi kita jangan cepat merubah UU, tapi Anda tahu persis hukum kita belum bisa menanggulangi atau memberikan solusi atas persoalan kepailitan di Indonesia dan saat ini Ditjen AHU beserta dengan Ditjen PP sedang menyelesaikan draf RUU Kepailitan dan Hukum Perdata tingkat nasional. Itu sedang kita godok,” jelasnya.
Wamen mengakui, Indonesia menganut dua prinsip dalam aturan hukum. Pertama, prinsip teritorial terhadap putusan asing. Kedua, prinsip universal terhadap putusan pengadilan Indonesia di luar negeri.
Sementara itu, Ahli Hukum Kepailitan Universitas Airlangga, Prof Hadi Subhan mengatakan, meski UU Kepailitan sudah diperbaharui pada 2004 lalu, namun 80 persen masih mengadopsi hukum Belanda yang sudah berlaku sekitar satu abad.
Dia menilai, Belanda kalau membuat sebuah UU amat sinkronisasi. “Beda dengan kita, kalau buat UU saling kanibal. Indonesia belum meratifikasi Convention on Recognition and Execution of Foreign Judgements in Civil and Commercial Matters (Konvensi Den Haag 1971), maupun perjanjian multilateral lainnya yang mengatur mengenai pengakuan dan pelaksanaan putusan pengadilan asing,” jelasnya.
Dikatakannya, ada prinsip universalitas dalam kepailitan, di mana putusan pailit dari suatu pengadilan di suatu negara, maka putusan pailit tersebut berlaku terhadap semua harta debitur berada di dalam negeri di tempat putusan pailit dijatuhkan maupun terhadap harta debitur yang berada di luar negeri.
“Secara tidak langsung, UU Kepailitan juga mengenal cross-border insolvency atau insolvensi lintas negara. Seperti terdapat pada Pasal 3 ayat (4), Pasal 133 ayat (3), Pasal 212, Pasal 213, Pasal 214, Pasal 278 ayat (5) UU Kepailitan dan PKPU,” jelasnya.
Tak hanya itu, beberapa negara, termasuk Singapura, mengakui putusan pailit negara lain, termasuk jika ada putusan dari Pengadilan Niaga di Indonesia.
Dijelaskan, dibalik pengakuan tersebut ada 4 pertimbangan utama. Pertama, perkara ini diadili oleh pengadilan yang berwenang. Kedua, pengadilan punya yurisdiksi dalam mengadili perkara itu. Ketiga, putusan itu final dan mengikat. Keempat, tidak ada pembelaan dan pengakuan yang berlaku.
Pada bagian lain, Guru Besar Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (FH UGM) memuji terbitnya buku dari partner SSMP. Yakni Nien Rafles Siregar tentang Kepailitan dan PKPU Lintas Batas dan Bobby Manalu tentang Pengantar Hukum Kepailitan dan PKPU.
“Kedua buku itu berguna untuk memahami masalah dan membantu kemajuan hukum di Indonesia,” tuturnya.
Pujian serupa datang dari Wamen. “Ada adagium Latin, ‘vox audita perit littera scripta manet’. Adagium itu sudah dilakukan oleh Bobby dan Raffles melalui dua bukunya. Itu akan sangat berarti untuk kepailitan Indonesia,” tukas Prof Eddy.
Direktur Perdata Ditjen AHU Kementerian Hukum, Henry Sulaiman menjabarkan, 4 unsur kunci dalam Model Law on Cross-Border Insolvency (MLCBI). Pertama, adanya akses di mana kita harus berikan akses pada perwakilan asing untuk mengajukan permohonan atau partisipasi dengan pengadilan negara lain.
Kedua, adanya pengakuan, di mana putusan negara lain diakui dan PN Niaga mengeluarkan penetapan. Nanti pelaksanaannya juga ada penunjukkan kurator dalam negeri untuk membantu dalam proses tersebut.
Ketiga, adanya perlindungan, di mana saat sudah diputuskan negara asing, maka PN Niaga dapat menerbitkan penetapan untuk menunda eksekusi, menunjuk pengelola aset sementara dan memberikan kewenangan investigasi aset dan dokumen.
Keempat, adanya kerjasama secara bilateral antar-negara maupun antar-institusi pengadilan di Indonesia dan negara asing. (RN)













































