Jakarta, innews.co.id – Sejumlah dosen hukum perdata dari berbagai universitas di Tanah Air yang terhimpun dalam Asosiasi Dosen Hukum Perdata (Adhaper), duduk bersama untuk mengupas materi keperdataan, dalam Konferensi Nasional Hukum Acara Perdata VIII, di Kampus Universitas Kristen Indonesia (UKI), Cawang, Jakarta, 19-21 November 2025 dengan tema Transformasi Hukum Penyelesaian Sengketa dan Cara Berhukum di Era Digital
“Revolusi industri 5.0 telah melahirkan perubahan signifikan dalam berbagai aspek, termasuk dunia hukum. Hal tersebut juga menjadi tantangan tersendiri bagi para dosen dan praktisi hukum di Tanah Air,” kata Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia, Prof Dr. H. Sunarto, SH., MH., saat membuka acara.
Menurutnya, istilah tumpang tindih regulasi bisa saja terjadi lantaran hukum yang digunakan masih produk kolonial.
Di era digital saat ini, kata Sunarto, kita perlu memperbarui hukum acara perdata dan disesuaikan dengan perkembangan jaman. “Sekalipun hukum kolonial masih bisa digunakan, namun harus disesuaikan dengan konstruksi hukum nasional kita,” serunya.

Sementara itu, Wakil Menteri Hukum RI, Prof Dr. Eddy O.S. Hiariej, SH., MH., menegaskan, RUU Kitab Undang-Undang Hukum Acara Perdata sudah masuk dalam program legislasi nasional (Prolegnas) 2026. “Nantinya, Komisi III DPR RI pasti akan mengundang para akademisi untuk dapat memberikan aspirasi, masukan, dan perbaikan terhadap materi yang ada,” jelasnya.
Dirinya mencontohkan UU KUHAP yang baru saja disahkan juga telah memuat berbagai peraturan Mahkamah Agung.
“Kita banyak dibantu dengan adanya peraturan MA, termasuk surat edaran MA yang sudah baku dalam mengantisipasi kemajuan teknologi. Nantinya, materi-materi tersebut juga akan menjadi subtansi dari Kitab UU Hukum Acara Perdata,” tukasnya.
Pada bagian lain, Dekan Fakultas Hukum UKI, Dr. Hendri Jayadi Pandiangan, SH., MH., berharap, Konas ini mempererat kolaborasi antara perguruan tinggi dengan organisasi-organisasi yang berkiprah di dunia pendidikan.
“Kami juga mengapresiasi pemerintah yang mendukung upgrading terhadap praktik hukum perdata di Indonesia dan berharap RUU Hukum Acara Perdata dapat segera disahkan,” ucapnya.
Menurutnya, output dari Konas ini merupakan bagian dari pengembangan hukum acara perdata, di mana dinamika dalam praktik hukum acara perdata itu harus selaras dengan era 5.0.
“Hukum keperdataan harus mampu menjawab ketika terjadi sengketa di mana alat-alat buktinya bersifat digital, tidak lagi konvensional,” urainya. Hal ini sejalan dengan pernyataan Prof. Dr. Effa Ketua Adhaper.
Dirinya sepakat bila RUU Hukum Acara Perdata bisa menjadi fokus pembahasan di DPR RI bersama pemerintah di tahun depan. (RN)












































