Jakarta, innews.co.id – Diberlakukannya positive list, seperti dalam Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Pasal 19 menjadi indikator bahwa pemerintah menyadari tidak mungkin importasi dibawah USD100 diberlakukan tanpa adanya perkecualian. Hal ini juga mengindikasikan bahwa sebenarnya pelarangan impor e-commerce dibawah USD100 lebih banyak mudaratnya daripada manfaatnya.
“Kami beranggapan bahwa Permendag 31 Tahun 2023 Pasal 19 Ayat 1 dan 2 tentang Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PSME) yang melakukan kegiatan importasi yang bersifat lintas negara wajib menerapkan harga barang minimum sebesar FOB USD100 adalah aturan yang merugikan dan diskriminatif serta melanggar norma perdagangan internasional,” kata Sonny Harsono, Ketua Asosiasi Pengusaha Logistik E-Commerce (APLE), dalam keterangan persnya yang diterima innews, di Jakarta, Kamis (5/10/2023).
Sonny mengatakan, upaya melindungi UMKM bukanlah dengan melarang nominal harga barang yang dapat dijadikan bahan dasar dari produksi UMKM dan memiliki nilai tambah, melainkan seharusnya pemerintah melihat proses importasinya, di mana importasi ilegal adalah penyebab utama Predatory Pricing. “Bukan nominal USD100 kebawah yang membunuh UMKM, melainkan seluruh besaran nominal barang impor yang tidak melalui proses importasi resmi akan menyebabkan Predatory Pricing dan merugikan UMKM,” tegasnya.
Perlu diketahui, kata Sonny, saat ini UMKM kita telah melakukan ekspor secara besar-besaran melalui PMSE Lintas Negara (crossborder) sehingga menjadi kontradiktif apabila di sisi lain UMKM kita melakukan dan diuntungkan dengan perdagangan Lintas Negara melalui PMSE. Akan tetapi PMSE tersebut malah dibatasi transaksinya. Saat ini nilai transaksi ekspor UMKM melalui PMSE Lintas Negara sebesar Rp 8-10 triliun per tahun dan secara volume sudah melewati batas importasi PMSE Lintas Negara, sehingga dapat disimpulkan bahwa jalur PMSE Lintas Negara ini adalah jalur perdagangan yang memberikan kontribusi besar dan dapat meningkatkan daya saing UMKM secara internasional.
Hal ini dapat dilihat dari target pencapaian PMSE Lintas Negara yang akan mendorong 60 juta UMKM pada tahun 2025 untuk dapat melakukan ekspor ke wilayah ASEAN dengan nilai transaksi lebih dari Rp 50 triliun per tahun.
“APLE mendukung segala upaya untuk melindungi dan meningkatkan daya saing (competitif advantage) UMKM nasional, di mana tidak mungkin peningkatan daya saing UMKM dapat dicapai tanpa peningkatan kegiatan Lintas Negara (crossborder),” terangnya.
Dan pola terbaik saat ini yang dapat memberikan hasil instan dan langsung kepada UMKM adalah melalui pola PMSE Lintas Negara, di mana UMKM diuntungkan dengan memotong mata rantai pasok dari menjual ke pedagang besar (trader) seperti pada model transaksi konvensional menjadi menjual langsung kepada pembeli (buyer).
Tak hanya itu, APLE juga meminta pemerintah untuk berhati-hati dalam penerapan Positive List agar dapat benar-benar meningkatkan daya saing UMKM, bukan malah merugikan. Dikarenakan selain bahan baku perdagangan PMSE Lintas Negara/Crossborder juga menghasilkan pendapatan negara dari segi pajak dan bea masuk sebesar Rp 5-6 triliun per tahun.
Problem yang terjadi sekarang, sambungnya, Predatory Pricing barang impor bukan perdagangan PMSE Lintas Negara. Sehingga yang urgen harus dilakukan adalah menghilangkan Predatory Pricing barang impor yang di jual di dalam negeri.
Penelitian Indef membuktikan bahwa 90% barang yang dijual di platform e-commerce lokal merupakan barang impor dan hanya 1-2% merupakan barang PMSE Lintas Negara/Crossborder. Sehingga penindakan terhadap 98% barang impor yang diperdagangkan tidak melalui PMSE Lintas Negara/Crossborder sangat penting untuk segera dilakukan. APLE telah menyampaikan dalam berbagai kesempatan bahwa patroli atau satgas barang impor ilegal yang dijual di platform lokal sangat mendesak untuk segara dilakukan.
“Kami menyarankan agar pemerintah bersama dengan stakeholders logistik e-commerce segera membuat blueprint bersama dalam upaya menghilangkan Predatory Pricing barang impor,” tukasnya.
Langkah pertama yang harus dilakukan, menurut Sonny, adalah menciptakan solusi agar seluruh perdagangan barang impor dapat dilakukan secara legal sehingga dapat menghilangkan Predatory Pricing.
APLE menyarankan agar pemerintah membentuk logistik hub di daerah bebas bea, seperti di Batam agar barang ilegal yang hampir seluruhnya transit melalui daerah bebas bea negara tetangga dapat menjadi tidak relevan/punah.
“Kami pernah menyampaikan hal ini saat audiensi dengan Menteri Koperasi dan UKM. Agar pelabuhan negara tetangga tidak lagi mendukung kegiatan importasi ilegal. Perlu dibuat logistik hub serupa di area sekitar Malaysia, Singapura, dan tempat yang paling cocok adalah Batam. Lalu pemerintah mendorong dan mewajibkan seluruh platform lokal yang ingin memperdagangkan barang impor melalui hub logistik yang akan menjadi fullfilment centre bagi seller platform e-commerce untuk distribusi wilayah regional ASEAN dan Indonesia,” urainya.
Khusus barang impor ke Indonesia akan disertai dengan dokumen importasi resmi dari Kementerian Keuangan yang dapat diterbitkan secara elektronik, seperti halnya dengan proses PMSE Lintas Negara/Crossborder saat ini.
Langkah kedua, melakukan operasi penegakan hukum kepabeanan di seluruh platform e-commerce lokal maupun internasional yang beroperasi di Indonesia. Di saat yang bersamaan jalur resmi PMSE Lintas Negara/Crossborder tetap dibuka dan di dorong melalui logistik hub tersebut dengan sistem e-katalog serta Risk Engine diberlakukan juga di Batam, sehingga seluruh barang impor dapat dikontrol dari sisi harga, uraian barang, asal barang, dan harga jual/biaya logistik perpajakan menjadi transparan, di mana ini akan menciptakan Equal Playing Field terhadap produksi dalam negeri dan menghilangkan Predatory Pricing selamanya serta barang impor pun menjadi sangat terkontrol.
Dengan dilakukannya dua langkah diatas, kata Sonny, dapat dipastikan pemerintah memiliki kontrol sepenuhnya terhadap arus barang dan selanjutnya hanya perlu dilakukan monitoring bersama. Di mana pada proses ini pemerintah dapat membuat aturan-aturan berdasarkan kondisi real di lapangan, di mana harga, jenis, dan kebutuhan barang dapat diregulasi.
Selain dapat menghilangkan Predatory Pricing, langkah diatas juga memiliki multiplier efek yaitu, peningkatan penerimaan negara dari bea masuk dan pajak, peningkatan sektor jasa logistik dengan memberikan volume yang dapat menurunkan biaya logistik nasional dikarenakan seluruh proses impor dan ekspor dapat dilakukan di dalam negeri tanpa melalui kawasan bebas bea negara tetangga.
Ditegaskan, APLE juga mendukung upaya pemerintah dalam mengatur pola perdagangan lintas negara dan perlindungan terhadap UMKM. “Kami siap berkontribusi aktif dalam rumusan solusi dan berperan aktif di proses penegakan hukum,” tukasnya.
APLE adalah Asosiasi Logistik satu-satunya di Indonesia yang memiliki anggota terdiri dari seluruh unsur logistik mulai dari Airlines, Fullfilment Centre, Pusat Logistik Berikat (PLB), Forwading, e-commerce Enabler, Perusaahan Kurir, serta Regulated Agent, di mana asosiasi pada umumnya tidak lintas sektoral jenis usaha dan tidak memiliki anggota di luar dari jenis usahanya. Saat ini anggota APLE adalah perusahaan logistik dengan usia perusahaan mulai dari 50 tahun, 40 tahun hingga dua tahun dan semuanya berkaitan dengan logistik e-commerce. (RN)
Be the first to comment