Catatan Hari Pers Nasional: PERS ONLINE dan PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP MASYARAKAT

Dr. H. Joni, SH., MH., Notaris, Pengurus Ikatan Notaris Undip Pusat, dan pengamat hukum, sosial, politik kemasyarakatan

Oleh: Dr. H. Joni, SH., MH*

BANYAK dimensi yang bisa dijadikan catatan tentang Pers Indonesia, di hari keberadaannya yang ke-75. Pasang surut kiprah pers tentu tidak cukup jika dianalisis atau disampaikan hanya dalam beberapa baris kalimat. Satu perkembangan penting dalam dekade terakhir adalah munculnya pers online (baca: media online).

Berbagai permasalahan yang mengikuti keberadaan pers online ini terus muncul. Di antaranya adalah bagaimana perlindungan hukum terhadap mayarakat akibat sajian pers online, dimaksud.

Media Online

Media online dikenal sebagai sebuah sarana untuk berkomunikasi secara online melalui website dan aplikasi yang hanya bisa diakses dengan jaringan internet. Berisikan teks, suara, foto, dan video. Cakupan media online ini secara umum meliputi semua jenis situs website dan aplikasi, termasuk situs berita, situs perusahaan, situs lembaga/instansi, blog, forum komunitas, media sosial situs jualan (e-commerce/online store) dan aplikasi chattingan.

Kesemuanya ini merupakan media, dalam arti sarana komunikasi publik berdasarkan aplikasi online.

Jika dirinci lebih lanjut, media online ini meliputi banyak media, diantaranya Situs Berita Online (Cnnindonesia.com, Kompas.com, Detik.com, innews.co.id); berikutnya ada Situs Pemerintah (Kemkes.go.id, Kemdikbud.go.id); Situs Perusahaan juga dapat dikualifikasikan sebagai media online (Telkom.co.id); ada lagi situs e-commerce (Shopee, Tokopedia, Lazada). Demikian pula yang ramai memasyarakat yaitu, situs media sosial (Instagram, Facebook, YouTube). Secara khusus ada lagi situs blog (Maxmanroe.com) atau ada bentukan kelompok atau Situs Forum Komunitas (Kaskus.co.id); dan lebih individual ada aplikasi dengan cara chatting (Whatsapp, Telegram, Line).

Pers Online

Khususnya media dengan situs online, maka media inilah yang dilindungi oleh UU Pers (UU No. 40 Tahun 1999) dan kinerjanya harus taat kepada rambu-rambu pers, baik yuridis maupun secara etis atau berdasarkan etika. Hal demikian perlu penegasan, karena fakta yang mengemuka bahwa di Indonesia, berkembang pesat pers online ini

Dalam lima tahun terakhir, pengakses internet terus melonjak seiring dengan ketersediaan infrastruktur yang makin meluas, terjangkau, dan murah. Sekitar tahun 2011, pada awal maraknya bermunculan media online, jumlah pengguna internet di Indonesia telah mencapai 55,23 juta, meningkat dari 42,16 juta orang di tahun sebelumnya. Itu artinya, seperempat penduduk Indonesia sudah kenal internet.

Berdasarkan catatan Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII), merilis hasil survei penetrasi dan perilaku pengguna internet di Indonesia tahun 2019 sampai dengan kuartal kedua tahun 2020. Dari hasil survei yang dilakukan bersama Indonesia Survey Center (ISC), menyebutkan bahwa pengguna internet di Indonesia mencapai 196,71 juta dari 266 juta penduduk negeri ini. Jumlah tersebut meningkat 73,7 persen dibandingkan tahun 2018 yakni 64,8 persen. Pada 2018, jumlah pengguna internet di Indonesia mencapai 171,17 juta pengguna. Artinya, ada peningkatan 8,9 persen dari tahun 2018. Sampai dengan 2019-2020 (Q2) atau muncul 25 juta pengguna internet baru berdasarkan hasil survei ini.

Tantangan dan Perlindungan Hukum

Kendatipun sedemikian unggul, namun tidak lantas membuat media massa internet menjadi yang paling sempurna. Ada banyak hal yang masih perlu dievaluasi dalam bisnis media yang sarat teknologi ini. Masalah pokok dalam dunia jurnalisme online adalah kualitas dan kredibilitas informasi yang sampai ke masyarakat. Masalah kualitas dan kredibilitas ini bermula dari sesuatu yang secara dogma disakralkan di media massa online sebagai kecepatan menyampaikan informasi.

Atas nama kecepatan, page view, dan pertumbuhan bisnis, acapkali lembaga berita online terjerembab menyampaikan informasi yang belum final terverifikasi kepada masyarakat luas sehingga terkadang menimbulkan mis-persepsi dan mis-interpretasi fakta.

Laporan yang masuk ke Dewan Pers, terkait keluhan berita di media massa online jumlahnya terus meningkat. Letak kesalahan lebih banyak karena masalah akurasi informasi yang dipaparkan lembaga media online. Data dari Dewan Pers ini bukan sekadar statistik, tapi sudah lebih pada peringatan bahwa harus ada yang dibenahi dalam tubuh institusi media massa online, khususnya berkenaan dengan perlindungan hukum terhadap pengguna media.

Secara moral memang ada yang menyerukan, alangkah bijak jika pelaku industri media massa internet kembali mengingat tujuan awal lahirnya media massa sebagai media informasi, pendidikan, dan hiburan. Filosofi terdalam media massa adalah sebagai alat untuk membebaskan manusia dari keterbodohan. Dalam ruang politik demokrasi, media massa adalah seperangkat medium untuk menyampaikan aspirasi publik.

Oleh karena itu, secara normatif, seyogyanya media online tetap menempatkan etika dan prinsip-prinsip jurnalistik sebagai landasan utama pemberitaannya. Khusus untuk pers, dalam arti media media-media online yang berbasis berita untuk mengacu pada Pedoman Penulisan Berita Siber yang dikeluarkan oleh Dewan Pers. Namun secara hukum mengingat begitu banyaknya komplain, maka sejauh yang bisa dilakukan oleh aparat terkait, khususnya Dewan Pers adalah memfasilitasi.

Manakala ada pengaduan, maka diselesaikan berdasarkan prinsip mediasi, melalui proses penggunaan Hak Jawab atau hingga penyelesaian melalui Dewan Pers. Jika tidak dapat diselesaikan, barulah menempuh jalur hukum. Namun mekanisme ini dinilai tidak sesuai dengan Undang-Undang Pers dan gugatan atau pemidanaan atas kasus tersebut kemungkinan besar akan dikalahkan.

Berdasarkan kenyataan ini, mekanisme Hak Jawab menjadi kunci yang penting posisi hukumnya dalam suatu penyelesaian kasus pemberitaan pers. Perlindungan hukum berkait erat dengan pertanggungjawaban di dalam mekanisme kinerja pers. UU Nomor 40 Tahun 1999 yang mendeskripsikan tanggung jawab dengan menunjuk langsung kepada penanggung jawab.

Operasionalisasi pertanggungjawaban itu didasarkan pada peraturan tentang hukum pidana yang berlaku. Dengan demikian perlindungan hukum terhadap masyarakat akibat sajian pers yang bermasalah perlu diperbaiki kembali, khususnya sedemikian maraknya pers online dewasa ini. ***

* Penulis adalah Notaris, Pengurus Pusat Ikanot (Ikatan Notaris) Universitas Diponegoro, Dosen Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Habaring Hurung Sampit Kalimantan Tengah

Be the first to comment

Tinggalkan Balasan