Jelang Pencoblosan, Mahir Bayasut Minta Rakyat Tak Terpolarisasi

Dr. Mahir Bayasut, Ketua Umum Forum CSR Indonesia

Jakarta, innews.co.id – Selama ini rakyat terkesan hanya menjadi obyek politik para elitnya. Sengitnya ‘pertarungan’ di dunia politik melahirkan polarisasi di masyarakat. Pesta demokrasi seolah hanya jargon, karena muaranya hanya kesenangan sepihak saja. Di sisi lain, bibit perpecahan menguat di tingkat akar rumput.

Keprihatinan tersebut disampaikan Dr. Mahir Bayasut Ketua Umum Forum Corporate Social Responsibility (CSR), menyikapi Pemilihan Umum (Pemilu) langsung, yang akan diadakan 14 Februari 2024 ini. “Pemilihan langsung (khususnya Presiden-Wakil Presiden), yang digadang-gadang sebagai wujud demokrasi tertinggi ini, justru mendorong terjadinya perpecahan. Rakyat dibenturkan satu sama lain demi mendulang suara dari para kontestan,” ujar Mahir.

Tiga Capres yang bersaing hanya di masa Pilpres saja

Mahir melihat, rakyat seperti diperalat untuk mendukung kepentingan politik tertentu, di mana dibangun fanatisme sempit yang menjurus pada pengkotak-kotakan. “Lihat saja di media-media sosial. Pendukung satu paslon begitu bertubi-tubi menyerang calon lainnya dengan cacian, makian, bahkan hinaan yang melahirkan sakit hati bagi pendukung paslon lainnya,” terang Mahir.

Terbangun polarisasi

Padahal, lanjutnya, kalau ditelisik lebih jauh, para politisi lagi berlakon bak pemain sinetron. “Pilpres 2004, SBY-Jusuf Kalla (JK), yang sebelumnya ‘pembantu’ Megawati harus berhadapan dengan eks ‘majikannya’. Lalu 2009, Megawati menggandeng Prabowo melawan JK-Wiranto dan SBY-Boediono. Kemudian pada Pilkada DKI Jakarta, 2012 lalu, Mega-Prabowo mengusung duet Jokowi-Ahok. Namun di Pilpres 2014, Prabowo harus fight dengan orang yang diusungnya di Pilkada DKI, yakni Jokowi, dan kalah,” tutur Mahir.

Lanjutnya, di Pilpres 2014, Anies adalah juru bicara tim pemenangan pasangan Jokowi-JK, yang kemudian diangkat sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan. Sementara Partai NasDem begitu getol mendukung duet ini. Cerita berlanjut, pada Pilkada DKI 2017, Prabowo bersama Hary Tanoesoedibjo (Ketum Perindo) mendukung Anies-Sandiaga Uno, sementara Ahok malah didukung oleh Surya Paloh.

Memberikan suara ikut menentukan nasib bangsa kedepan

“Terbangun polarisasi yang tajam di Pilkada DKI 2017, baik karena faktor identitas, politik maupun ideologi. Rakyat terbelah dan terjadi garis permusuhan, bahkan menembus lingkaran persahabatan yang sudah terbangun lama, pun sampai ke level keluarga,” imbuh Mahir.

Kondisi memanas berlanjut di Pilpres 2019, di mana gesekan kian tajam. Munculnya gerakan Tagar ‘2019 Ganti Presiden’, pendukung kafir dan pendukung amanah, disparitas antar pendukung Capres/Cawapres dibuat sedemikian rupa, juga menguat politik identitas. Di 2019, Jokowi menggandeng Ma’ruf Amin, yang notabenenya sosok yang mengeluarkan fatwa terkait Ahok, wakil Jokowi di DKI, sebagai penista agama. berdasarkan agama.

Di Pilpres 2024 ini, Prabowo akan berhadapan dengan Anies, yang ia usung di Pilkada DKI. Sementara JK, wakil Jokowi dulu, mendukung duet Anies-Muhaimin. “Nampak jelas, rotasi dukungan di seputaran para politisi. Mereka sepertinya fine-fine saja,” tukas Mahir.

Pemimpin bagi semua

Oleh karena itu, Mahir mengajak rakyat Indonesia untuk memahami bahwa dalam politik tidak ada kawan dan lawan abadi, yang ada hanya kepentingan abadi. “Hari ini menjadi lawan, besok sudah berkawan, begitu sebaliknya,” serunya.

Sementara rakyat saking loyalnya kepada paslon rela bermusuhan dengan saudara atau sahabatnya sendiri. “Padahal tidaklah perlu seperti itu. Karena siapapun yang menang adalah pemimpin bagi seluruh rakyat. Seorang pemenang di Pilpres adalah Kepala Negara bagi seluruh elemen bangsa tanpa ada pandang bulu. Bukan hanya pemimpin dari kelompok yang memilihnya saja, tetapi pemimpin diatas semua golongan,” ucapnya mengingatkan.

3 pasang Calon Presiden – Wakil Presiden yang akan bersaing di Pilpres 2024 ini

Dia mengajak seluruh rakyat untuk memahami bahwa politik adalah ‘permainan’ yang sangat dinamis dan segala kemungkinan bisa terjadi. “Kenapa untuk ukuran kontestasi 5 tahunan saja kita harus seperti perang baratayuda? Padahal, para elit politik mengajarkan inkonsistensi dalam mendukung sebuah kontestasi politik dan semua punya beribu alasan pragmatis untuk berebut kekuasaan politik,” tandasnya.

Mahir meminta masyarakat untuk tidak baper (bawa perasaan) dalam melihat dinamika politik, termasuk di tahun 2024 ini. Karena siapapun yang terpilih nanti, entah itu paslon nomor urut 01, 02, atau 03, para elit ini akan tetap bersatu. Dia mengingatkan agar para elit juga terus menyuarakan persatuan, bukan mempertajam persaingan.

“Jangan sampai rakyat menjadi terbelah akibat polarisasi politik. Sementara di balik layar, para elit berkoalisi dan berbagi jatah. Yang lebih dikhawatirkan lagi, rakyat menjadi sasaran tipu daya sandiwara dan drama politik dari para elit politik. Rakyat bak terkena ‘prank’ atau ‘kecele’ karena politik itu sangat dinamis dan perubahannya sangat cepat,” cetusnya.

Dirinya menegaskan, di alam demokrasi perbedaan pendapat itu wajar. Tidak boleh dipaksa untuk selalu bersepakat dengan satu pilihan. Yang utama, perbedaan pendapat jangan sampai menimbulkan permusuhan dan perpecahan di antara sesama anak bangsa. (RN)

Be the first to comment

Tinggalkan Balasan