Kapolri Baru dan Program Mengaji Kitab Kuning

Dr. H. Joni, SH., MH., Notaris, Pengurus Ikatan Notaris Undip Pusat, dan pengamat hukum, sosial, politik kemasyarakatan

Oleh: Dr. H. Joni, SH., MH*

KAPOLRI baru tinggal menunggu pelantikan, yang rencananya akan dilaksanakan akhir Januari 2021 ini. Komisaris Jenderal Polisi Listyo Sigit Prabowo adalah calon tunggal yang disodorkan oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) ke DPR. Dia menggantikan posisi Jenderal Pol Idham Azis yang segera memasuki masa pensiun pada Februari mendatang.

Listyo adalah pria kelahiran Ambon, Maluku, 1969. Sebelum akhirnya dipilih sebagai calon Kapolri tunggal oleh Presiden Jokowi, alumni Akademi Kepolisian (Akpol) 1991 itu telah melewati banyak penugasan. Catatan panjang dan tentu saja kesemuanya dilalui dengan mulus merupakan bekal yang menyebabkan dirinya dipilih menjabat sebagai Kapolri.

Catatan panjang itu dapat diikuti di berbagai publikasi, khususnya mengiringi pengangkatannya sebagai Kapolri baru. Menarik, pria yang beragama Kristen Protestan ini melenggang sebagai Kapolri ke-25, menambah panjang deretan Kapolri beragama non-Muslim. Sebelumnya, ada mantan Kapolri ke-7, Jenderal Pol Widodo Budidarmo dan Kapolri ke-3 Jenderal Pol Soetjipto Danoekoesoemo, mengkonversi agamanya menjadi Kristen, tahun 1981.

Kitab Kuning

Sangat menarik, dan tentu saja hal ini menjadi catatan positif bagi dirinya bahwa saat menjalani uji kepatutan dan kelayakan di Komisi III DPR RI, Rabu (20/1/2021), Listyo Sigit menyatakan anggotanya akan diperintahkan untuk belajar Kitab Kuning, pembelajaran keagamaan Islam yang lazim diajarkan di pesantren-pesantren.

Menarik, sebab paparan standar tentang visi dan misi, biasanya tidak menyentuh sesuatu yang spesifik atau khusus, apalagi masalah yang bersentuhan dengan dimensi keagamaan. Kali ini, publik dibuat terkesima dengan program mengaji Kitab Kuning dimaksud.

Komisaris Jenderal Listyo Sigit Prabowo, yang sebentar lagi naik pangkat ke Jenderal Polisi ini menjabarkan program-program yang akan ia jalankan jika sudah resmi menjadi Kapolri, mulai dari menghidupkan kembali pasukan pengamanan masyarakat atau PAM Swakarsa, hingga mewajibkan belajar Kitab Kuning. Sederet program itu telah dipaparkan mantan Kapolda Banten ini dalam fit and proper test pada Rabu, 20 Januari 2021, pekan lalu.

Secara lebih terinci, dari yang dimaksudkan dengan mengaji Kitab Kuning ini terkait erat dengan kebijakan untuk memberantas terorisme. Ulama-ulama yang pernah ia datangi, menurutnya, memberikan resep tindakan mencegah terorisme dengan belajar Kitab Kuning. Tentunya baik di eksternal maupun internal dirinya, yakni apa yang disampaikan para ulama kepada dirinya, yang kemudian dijadikan sebagai dasar kebijakan memberantas terorisme dimaksud.

Sampai di sini, tentunya publik masih penasaran kaitan antara pemberantasan terorisme dengan mempelajari Kitab Kuning yang calon Kapolri maksudkan. Namun kepastiannya, dalam paparan yang dilakukan di hadapan DPR itu ia mengaku sudah membuat program anggota Polri belajar Kitab Kuning bagi anggotanya yang beragama Islam, saat menjadi Kapolda Banten.

Bagaimana teknis yang akan dia lakukan dengan program mengaji Kitab Kuning ini, masih belum operasional. Namun pada intinya tentu saja pendekatan yang bersifat religius menjadi acuan di dalam melaksanakan program-programnya, khususnya dalam rangka memberantas radikalisme yang akhir-akhir ini menjadi gerakan yang dipandang merusak eksistensi bangsa.

Oleh karena itu, secara teknis tentu ditunggu publik bagaimana sosok yang beragama non-Muslim ini mengaplikasikan program Kitab Kuning, yang pada awalnya ditujukan dengan cara agar warga Polri, khususnya yang beragama Islam, mempelajari Kitab Kuning dimaksud.

Bahwa substansi dari Kitab Kuning adalah bagaimana polisi menghayati spirit dari Islam yang tidak berkecenderungan pada pemisahan dan pendiskriminasian orang. Dalam pemahaman umum, Kitab Kuning identik dengan pondok pesantren yang merupakan pola pendidikan khas Agama Islam. Dikutip dari buku Kitab Kuning, Pesantren, dan Tarekat: Tradisi-Tradisi Islam, Kitab Kuning adalah kitab klasik yang ditulis beberapa abad yang lalu.

Kitab ini dikenal di Indonesia sebagai Kitab Kuning. Jumlah teks klasik yang diterima di pesantren sebagai ortodoks (Al-Kutub Al-Mu’tabarah) pada prinsipnya terbatas. Ilmu yang bersangkutan dianggap sesuatu yang sudah bulat dan tidak bisa ditambah. Karya klasik dengan bahasa Arab dalam Kitab Kuning hanya bisa diperjelas dan dirumuskan kembali. Meskipun terdapat karya-karya baru, namun kandungan dalam Kitab Kuning tidak berubah. Dalam kaitan ini, kebanyakan kitab Arab klasik yang dipelajari di pesantren terdiri atas tiga jenis. Yaitu kitab komentar (syarh), komentar atas komentar (hasyiyah), dan teks yang lebih tua.

Substansi Kitab Kuning

Publik memberikan tanggapan, bahwa gagasan Listyo Sigit untuk anggota Polri mengaji Kitab Kuning akan sangat bagus jika tujuannya agar penegakan hukum yang dilakukan Polri mengacu pada tuntunan agama, seperti yang diajarkan dalam Kitab Kuning. Artinya, dengan mengaji Kitab Kuning itu adalah membekali nilai-nilai agama dengan cara pandang Kitab Kuning. Itu keren agar keadilan menjadi kiblat penegak hukum, ikhlas melaksanakan tugas dan rendah hati dalam bersikap.

Maknanya, dengan penegakan hukum yang adil, misalnya terhindarkan dari pameo ditengah rakyat yang selama ini terpola dalam kinerja Polri. Yaitu, tidak ada lagi cerita seseorang kehilangan kambing, namun ketika lapor ke pihak Polri, korban tersebut justru merugi karena harus kehilangan biaya yang lebih besar lagi, sehingga tak ada sapi melayang karena lapor kambing hilang. Secara personal, dengan mengaji Kitab Kuning berarti sosok polisi harus dimaknai seperti kiai yang alim mengajarkan kepada santri yang mengaji, dalam konteks ini polisi sebagai santri, tentang Islam moderat.

Hasil ngaji tersebut kemudian diterapkan oleh polisi sebagai pengayom masyarakat bermitra dengan ulama. Kiai yang alim, santri yang ngaji. Kemudian mengajar polisi tentang Islam wasathi, kemudian direalisasikan polisi sebagai pengayom masyarakat bermitra dengan ulama.

Kitab kuning itu maknanya Islam moderat. Hal ini berarti bahwa belajar Kitab Kuning bagi polisi harus dipahami sebagai belajar Islam moderat, paham yang obyektif, jauh dan tidak ada muatan radikalisme, baik dalam pikiran, apalagi tindakan. Pola sebagaimana dimaksud dijadikan sebagai dasar dalam upaya untuk mencegah berkembangnya terorisme.

Tentu saja memahami dan mengawalinya dengan mengaji Kitab Kuning ini direfleksikan sedemikian rupa untuk personal Polri agar tidak salah arah. Polisi jangan sampai menjadi santri, kiai, karena tugas jadi polisi jaga keamanan, melindungi umat. Tapi nilai-nilai yang mengajarkan, yang menceramahi itu tetap ulama. Polisi bisa bermitra dengan ulama dan santri untuk menjalankan nilai-nilai agama yang dianjurkan oleh para ulama. Secara teknis cukup kiai yang alim. Jadi yang sampaikan nilai-nilai itu ulama dan santri.

Polisi itu hanya menjalankan, merealisasikan nilai-nilai yang diceramahkan para ulama. Bagaimana implikasi terhadap penerapan para personal polisi dalam mempelajari, memahami, dan bahkan menerapkan pengajian Kitab Kuning, masih ditunggu. Namun setidaknya abstraksi yang dimunculkan memberikan harapan baru, yang menjadi kekhasan Kapolri baru ini dalam mengemban tugas berat sebagai pemimpin baru Polri.

Untuk ini, masyarakat menunggu, ditengah perubahan sosial yang diakibatkan oleh pandemi korona yang tak bisa diperkirakan kapan berakhirnya. ***

* Penulis adalah Notaris, Pengurus Pusat Ikanot (Ikatan Notaris) Universitas Diponegoro, Dosen Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Habaring Hurung Sampit Kalimantan Tengah

Be the first to comment

Tinggalkan Balasan