Ketum KADIN DKI: Atasi Kemacetan di Ibu Kota, Pemprov Perlu Lakukan Combine Programs

Diana Dewi, Ketua Umum KADIN DKI Jakarta, memberi masukan atasi kemacetan di DKI Jakarta

Jakarta, innews.co.id – Sebagai pusat ekonomi dan bisnis di Indonesia, wajar bila DKI Jakarta selalu menjadi sasaran para pencari kerja. Tak heran, bila warga yang mapan pun mayoritas bermukim di Jakarta. Meski kehidupan keras, namun animo menaklukan Ibu Kota begiru besar, utamanya dari angkatan kerja di daerah. Hingga sampai muncul istilah ‘kejamnya ibu tiri tak sekejam Ibu Kota’.

Semua itu membuat pekerja tumplek-blek di Jakarta. Dengan segala keterampilan dan keilmuannya, para pekerja berlomba mengais rezeki dan pengalaman dalam bekerja. Hal ini tentu berdampak pada tingginya kemacetan.

Kemacetan di Ibu Kota sudah parah

Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (KADIN) Provinsi DKI Jakarta, Diana Dewi, mengaku, kemacetan di daerah-daerah yang menjadi pusat bisnis, termasuk DKI Jakarta, memang tidak terelakkan. Hal ini tentu berpengaruh terhadap aktivitas bisnis. Salah satunya berdampak pada mahalnya biaya transportasi barang dan jasa sebagai akibat dari pemborosan bahan bakar minyak (BBM) lantaran terjadi pelambatan moda transportasi. Juga dari sisi waktu yang habis terbuang di perjalanan akibat macet.

Kondisi lalu lintas sekarang, kata Diana, bisa dikatakan sudah kembali seperti sebelum pandemi. Aktifitas masyarakat pun sudah kembali normal. Soal dampak kemacetan terhadap perekonomian tentu cukup signifikan. Menyitir hasil kajian Badan Pengelola Transportasi Jabodetabek (BPTJ) Kementerian Perhubungan dikatakan, kerugian sebagai dampak dari kemacetan di Jabodetabek mencapai Rp 71,4 triliun per tahun. Angka ini bisa lebih ya, bahkan bisa mencapai lebih dari Rp 100 triliun pertahunnya.

“Kemacetan juga memiliki pengaruh terhadap psikologi seseorang. Pemeringkatan yang dilakukan VAAY pada laporannya ‘The Least and Most Stressful Cities Index 2021’, menempatkan Jakarta di urutan ke-9 kota dengan tingkat stres tertinggi dari 100 kota di dunia,” jelas Diana yang juga Founder dan CEO PT Suri Nusantara Jaya ini, dalam siaran persnya yang diterima innews, di Jakarta, Jumat (31/3/2023).

Wajah DKI Jakarta yang penuh dengan kemacetan

Dirinya melihat, berbagai upaya telah coba dilakukan, baik oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta maupun Pemerintah Pusat. Salah satunya adalah menghadirkan moda transportasi umum yang aman kepada masyarakat DKI, seperti TransJakarta, MRT, Jaklingko, kedepan ada juga LRT. Bahkan, Pemerintah Pusat berupaya memindahkan Ibu Kota Negara ke Kalimantan Timur.

“Semua dimaksudkan untuk mengurangi tingkat kemacetan. Solusi ini juga harus di mix dengan menghadirkan hunian yang dekat dengan pusat bisnis, sehingga warga tidak harus naik kendaraan untuk ke tempat pekerjaannya. Jadi semacam combine programs. Ini pun sudah mulai dilakukan, tidak hanya untuk kalangan menengah ke bawah, tapi juga kalangan atas. Dengan meningkatkan mixed use development di atas lahan publik strategis di Jakarta, tentu semakin banyak masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) yang mampu tinggal di tengah kota. Otomatis, kemacetan Jakarta akan berkurang. Mixed use development ini dapat diterapkan di banyak lokasi strategis di Jakarta. Apalagi bila kedepan Jakarta dijadikan sebagai pusat niaga,” terang Diana Dewi.

Pentingnya warga menggunakan transportasi publik tentu membuka ruang bisnis bagi para pengusaha. Hal tersebur diakui Diana. “Akhir-akhir, invenstasi di sektor transportasi publik semakin menjanjikan. Salah satunya dengan kendaraan listrik. Tentu ini menarik minat para investor. Apalagi kebijakan penggunaan kendaraan listrik memiliki tujuan baik mengurangi polusi karena rendah karbon. Namun, kebijakan ini harus dibarengi dengan upaya serius untuk mengurangi emisi karbon, terutama pada kendaraan,” seru owner Toko Daging Nusantara ini.

Kehadiran kendaraan listrik, sambungnya, di satu sisi kontraproduktif dengan niatan mengurai kemacetan. Namun, bila dilihat dari tujuan yang mau dicapai yakni, mengurangi emisi karbon, maka bisa saja itu diberlakukan untuk memantik masyarakat mengurangi penggunaan kendaraan yang menghasilkan emisi karbon. Ditambahkan lagi hal tersebut dipandang sebagai solusi masa depan, mengingat semakin berkurangnya stok bahan bakar fosil. “Kembali lagi, harus diimbangi dengan kebijakan untuk mengurangi pemakaian kendaraan beremisi karbon,” pungkasnya. (RN)

Be the first to comment

Tinggalkan Balasan