Jakarta, innews.co.id – Vonis satu tajun penjara kepada Stanley MA, Senior Manager Corporate Affairs Permata Hijau Group, dalam perkara ekspor CPO (minyak goreng), yang dibacakan Hakim Ketua Liliek Prisbawono Adi di Pengadilan Tipikor Jakarta, Rabu (4/1/2023), dinilai sebagai bentuk pemaksaan terhadap suatu dugaan perbuatan tindak pidana.
Padahal, berkaca pada runtutan perjalanan kasus ini, Jaksa Penuntut Umum (JPU) dari awal hingga akhir tidak bisa membuktikan semua dakwaan yang disampaikan.
“Kasus ini terlalu dipaksakan. Bahkan, tuntutan JPU sebelumnya yakni, penjara 10 tahun, denda Rp 1 miliar subsider 6 bulan kurungan, serta hukuman pengganti Rp868,7 miliar, bila tidak dibayar dalam waktu satu tahun setelah putusan berkekuatan hukum tetap, maka harta bendanya termasuk milik korporasi akan disita,” itu terlalu mengada-ada dan berlebihan,” kata Prof Dr. Otto Hasibuan, SH., MM., Kuasa Hukum Stanley MA, dalam keterangan resminya yang diterima innews, Sabtu (7/1/2023).
Prof Otto menerangkan, “Stanley hanyalah seorang manager di perusahaan Permata Hijau Group, dan tidak memiliki kewenangan untuk mewakili perusahaan. Pun, Stanley tidak pernah melakukan perbuatan mengekspor minyak goreng (migor) dan tidak pernah mempengaruhi dan atau memberikan uang atau hadiah apapun kepada Dirjen Perdagangan Luar Negeri”.
Jadi, lanjutnya, bagaimana bisa orang yang tidak melakukan perbuatan pidana bisa dinyatakan bersalah? Kasus ini terlalu dipaksakan. “Harusnya klien kami diputus bebas karena tidak terbukti bersalah melakukan perbuatan seperti yang didakwakan JPU,” tegas Prof Otto.
Dia menerangkan, JPU mengatakan ada kerugian perekonomian negara, tapi sampai akhir persidangan tidak bisa dibuktikan secara rinci kerugian perekonomian negara tersebut. “Kalau dibilang negara dirugikan triliunan rupiah, dari mana hitung-hitungannya? Sementara, ketika melakukan ekspor kan harus atas seizin negara. Lantas, kenapa negara memberi izin?” cetus Prof Otto lagi.
Dijelaskannya, kelangkaan migor lebih diakibatkan kebijakan pemerintah yang tidak konsisten dan selalu berubah-ubah. Lantas, kenapa migor langka yang disalahkan justru produsen? “Bukankah pemerintah harusnya bersyukur bahwa produsen, meski ditengah pandemi tetap memproduksi migor? Kan tinggal bagaimana pemerintah mengaturnya saja,” imbuh Otto.
Dalam dakwaannya, Stanley disebut tidak bisa memenuhi domestic market obligation (DMO), sebagai salah satu persyaratan diberikannya izin ekspor. “Kita sudah membuktikan di pengadilan bahwa DMO yang dimaksud sebesar 20 persen dari jumlah ekspor sudah dipenuhi oleh Permata Hijau Group. Dengan kata lain, karena DMO sudah dipenuhi, maka izin ekspor sudah bisa diperoleh,” ungkap Prof Otto.
Dakwaan lain menyebutkan, Stanley mempengaruhi Dirjen Daglu Indra Sari Wisnu Wardhana, untuk mengeluarkan Perizinan Ekspor (PE). “Tidak ada satu saksipun yang telah dihadirkan di persidangan menyatakan hal tersebut. Dengan kata lain dakwaan tersebut harusnya gugur,” urainya.
Stanley didakwa juga terkait terjadi perubahan rencana ekspor. “Sekarang kan semua serba online. Sementara pemerintah tidak menyiapkan sistem (channel) untuk melakukan pelaporan. Kalau tidak ada sistemnya ya mau melapor kemana? Dan lagi, tidak ada lagi kewajiban untuk melaporkan perubahan rencana ekspor karena peraturannya sudah dirubah,” papar Prof Otto.
Dari ketiga dakwaan tersebut, sambung Otto, sudah jelas, tidak terpenuhi semua. Kok masih saja dihukum? “Sudah sewajarnya bila klien kami dibebaskan dari segala tuntutan hukum,” tukasnya.
Bahkan, dalam amar putusannya, majelis hakim mengatakan bahwa para terdakwa tidak terbukti telah menyebabkan kerugian perekonomian negara seperti dalam surat dakwaan primer JPU.
Terkait putusan tersebut, Prof Otto mengatakan, pihaknya akan pertimbangkan untuk melakukan banding. “Ya, kita pikir-pikir dulu (untuk banding),” seru Prof Otto.
Demikian juga, bila JPU melakukan banding, kata Otto, tentu akan kita siapkan kontrabanding. “Saat ini semua sedang kita pertimbangkan,” pungkas Otto. (RN)
Be the first to comment