Jakarta, innews.co.id – Perpecahan Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) menjadi tiga, menjadi sebab musabab keterpurukan organisasi advokat (OA) di Indonesia. Bahkan, saat ini bisa dikatakan OA menganut multi-bar, bukan single-bar. Ini kian dipertegas dengan keluarnya Surat Edaran Mahkamah Agung No. 73 Tahun 2015, yang memberi kesempatan para advokat bisa beracara di pengadilan tanpa harus melalui Peradi.
Keterpurukan OA begitu dirasakan, tak terkecuali di Asosiasi Advokat Indonesia (AAI) yang sejatinya merupakan salah satu pendiri Peradi. Itu dirasakan dalam lima tahun terakhir. Tadinya, AAI memiliki 135 cabang di seluruh Indonesia, kini hanya tinggal 20-an cabang yang aktif.
“Tentu kita prihatin dengan kondisi AAI saat ini. Sepertinya ada rasa ketidaknyamanan dari para anggota AAI, sehingga roda organisasi di sejumlah daerah mengalami stagnasi,” kata Dr. Palmer Situmorang, SH., MH., advokat Senior yang saat ini dicalonkan sebagai Ketua Umum DPP AAI periode 2021-2026 ini kepada innews, Rabu (7/4/2021).
Padahal, kata Palmer, sejak awal terbentuk, 27 Juli 1990, AAI dikenal sebagai OA yang mentereng dengan kualitas para advokatnya yang mumpuni. Pun, ada beragam agenda kegiatan yang dilakukan, jauh melebihi Ikadin. Bahkan, AAI menjadi satu-satunya OA yang memiliki database anggota (directory book) yang sangat rapih. Selain itu, AAI dikenal kritis, namun intelek. Tidak turun ke jalan, melainkan lebih memilih menyampaikan koreksi kepada pihak terkait secara langsung.
“Di 2015, AAI memiliki 135 cabang di seluruh Indonesia yang aktif. Namun pada Munaslub AAI di 2018, hanya ada 23 cabang yang ikut. Kemudian, pada Rakernas di Medan sekitar awal 2019, hanya dihadiri 13 cabang,” paparnya.
Menurut Palmer, cabang-cabang mungkin tidak bergairah lagi. Dalam pandangan mereka yang penting bisa beracara di pengadilan sudah cukup, sehingga organisasi tidak diurus lagi. “Harusnya hal seperti ini bisa diantisipasi sehingga tidak merosot begitu tajam,” tutur Palmer yang selama ini dikenal sebagai sosok yang tegas dan low profile ini.
Lebih jauh, pria kelahiran Aceh Tenggara, 14 Juli 1958 ini mengatakan, bila dipercaya menjadi Ketum DPP AAI, maka sejumlah pembenahan akan dilakukan. “Apa-apa yang sudah baik selama ini tentu akan kita teruskan. Sementara bagian-bagian yang masih kurang akan kita tingkatkan,” ujarnya.
Dia mencontohkan, update database keanggotaan menjadi salah satu prioritasnya. Selain itu, bagaimana kita kembali ‘menghidupkan’ kembali cabang-cabang yang mati suri. “Saya hanya ingin menjadikan lokomotif AAI kembali duduk di rel yang selayaknya. Rasanya lima tahun sudah bisa kita benahi semua ini,” tandasnya.
Baginya, kejayaan AAI harus dikembalikan. “Dibanding OA lain, AAI dikenal dengan keguyuban serta keharmonisan. Ada hubungan emosional dari pengurus dan para anggotanya. Kemesraan di AAI harus dikembalikan. Bicara kemesraan, maka hal-hal formil pun bisa dibicarakan secara santai dan penuh kekeluargaan. Itu menjadi modal kuat AAI selama ini,” urainya.
Melihat perkembangan AAI sekarang ini, sambung Palmer, banyak pihak pesimis, kalau begini terus, AAI hanya tinggal cerita dongeng semata. “Karena itu, AAI perlu direstorasi dengan juru mudi yang baru agar bisa take off dengan aman dan landing dengan landai,” tegasnya.
Palmer menambahkan, guna mengembalikan ruh AAI seperti dulu, dibutuhkan strong leader juga orang-orang yang berniat tulus membangun organisasi di sekitarnya. “Kalau melempem terus, mungkin dalam 5-10 kedepan AAI hanya tinggal kenangan,” imbuhnya.
Hal lain yang juga akan mendapat perhatian Palmer bila dipercaya memimpin AAI adalah mengaktifkan Pos Bantuan Hukum (Posbakum). “Ini menjadi bagian yang harus dibenahi. Dengan aktifnya Posbakum, maka rakyat jelata bisa mendapat bantuan hukum secara cuma-cuma. Selain itu, Posbakum bisa dimanfaatkan oleh para fresh graduated untuk berpraktik,” cetusnya.
Palmer telah bulat hati, bersama Dr. Efran Helmi Juni (Calon Wakil Ketua AAI) dan Dr. Hendri Donal (Calon Sekretaris Jenderal), dirinya akan ‘bertarung’ pada Musyawarah Nasional AAI yang rencananya akan dilakukan pada Juni 2021 ini. (RN)
Be the first to comment