Jakarta, innews.co.id – Oknum penyidik Polda Kalsel diduga mengintimidasi seorang wanita yang tengah mengandung dan dalam keadaan diopname di rumah sakit.
Wanita berinisial ATR tersebut merupakan Komisaris Utama PT Aditya Global Mining (AGM) yang tengah berkasus dengan PT Semesta Borneo Abadi (SBA) terkait investasi jual beli batu bara di Kalimantan Selatan.
Intimidasi dilakukan melalui telepon, saat ATR diperiksa sebagai saksi dalam kasus dugaan tindak pidana pencucian uang (TPPU).
Penyidik meminta ATR memberikan rekening korannya dengan dalih untuk menelusuri uang yang diduga hasil dari TPPU. Bila tidak diberikan, penyidik akan menjemput paksa ATR.
Hal tersebut diungkapkan Faisal W. Wahid Putra, kuasa hukum ATR. Dia menilai, perbuatan yang dilakukan oknum penyidik tersebut telah melanggar Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia No. 12 Tahun 2009 Tentang Pengawasan dan Pengendalian Penanganan Perkara Pidana di Lingkungan Kepolisian Negara Republik Indonesia Pasal 29 huruf b yang berbunyi; Dalam melaksanakan penyelidikan, penyelidik dilarang: melakukan intimidasi, ancaman, siksaan fisik, psikis ataupun seksual untuk mendapatkan informasi, keterangan atau pengakuan”.
Menyikapi intimidasi tersebut, Faisal melayangkan surat permohonan perlindungan hukum terkait dugaan kriminalisasi (malprosedur) dan pelanggaran hak asasi manusia terhadap pelaku usaha investasi di Kalsel ke Kepala Bareskrim Polri.
Duduk perkara
Dijelaskan, pemeriksaan ATR berawal dari permasalahan pengiriman batu bara antara PT AGM kepada pembeli, yaitu, PT SBA.
“Karena tidak mencukupi permintaan, PT SBA menyarankan untuk membeli batu bara yang sudah siap dari pihak lain yaitu, penambang berinisial R dengan kondisi barang yang lebih bagus, namun harga lebih mahal Rp 13 milliar,” ujarnya di Jakarta, Ahad (20/4/2025).
Karena mendesak, Direktur Utama PT AGM berinisial RAU menyetujui penawaran tersebut tanpa sepengetahuan ATR. Jadilah PT SBA membayarkan uang tersebut dan dikirim ke penambang sebesar Rp 12 miliar dan Rp 1 miliar kepada pemilik IUP CV BTP.
“Setelah pembayaran, barulah diketahui oleh ATR. Uang sebesar Rp 13 miliar itu sama sekali tidak masuk ke PT MND,” bebernya.
Setelahnya, PT SBA kembali menawarkan kerja sama dengan PT AGM dengan nilai kontrak yang sama sebesar Rp 8 milliar. Jadi, total nilai kontrak keselurahan Rp 16 miliar. Karena sebelumnya PT SBA sudah membayar Rp 13 miliar, maka tinggal membayar kekurangannya Rp 3 miliar.
Setelah ada kesepakatan dengan RAU, PT SBA memaksa meminta nomor rekening ATR dengan dalih sesama bank agar bisa diterima langsung dan PT SBA mengirimkan uang tersebut ke rekening pribadi milik ATR, bukan rekening perusahaan.
Kemudian ATR mengirimkan uang sejumlah Rp 3 milliar ke rekening PT AGM. Lalu, PT AGM mentrasferkan uang sejumlah Rp 2.3 milliar ke PT MND dengan maksud mengembalikan pinjaman sebelumnya.
Seiring waktu, kembali PT AGM tidak bisa menambang, dikarenakan IUP CV BTP mati dan harus diperpanjang, yang notabenenya PT SBA telah mengetahui hal tersebut. Lantas, PT SBA mendesak PT AGM untuk mengirim batu bara sebanyak 7.500 MT atau menuntut pengembalian dana sejumlah Rp 8 miliar lebih.
Batu bara tidak terkirim, membuat PT SBA melayangkan somasi I pada 13 September 2024, yang pada pokoknya meminta PT AGM sebagaimana dalam Perjanjian Jual Beli Batubara No. 010/PJBBB/AGM-SBA/VII/2024, telah melakukan pembayaran Rp 16.162.500.000 dengan kesepakatan menyerahkan batu bara 15.000 MT.
Faizal menegaskan, faktanya dalam perjanjian tersebut hanya menyebutkan kuantitas 7.500 MT, Non Spesifikasi GAR 56-58, dengan harga dasar batu bara Rp 1.040.000/MT dan pembayaran Rp 16.162.500.000 tidak diterima PT AGM, pengiriman batu bara tahap pertama telah dilakukan dan dibayarkan bukan kepada PT AGM, namun kepada penambang langsung.
Lalu, pada 17 September 2024, PT SBA kembali mensomasi yang pada pokoknya meminta kepada PT AGM mengembalikan uang Rp 8 miliar lebih. Faisal menilai permintaan tersebut dinilai tak masuk akal.
Dirinya pun menghubungi GFR Kuasa Hukum PT SBA dan mempertanyakan dari mana muncul angka Rp 8 miliar. Namun, GFR meminta Faisal menghubungi penyidik Polda Kalsel.
“Permintaan uang Rp 8 miliar bila dikonversikan dengan batu bara setara dengan 7.500 MT, sebagaimana Perjanjian Jual beli Batubara No. 010/PJBBB/AGM-SBA/VII/2024 yang telah dibuat dengan catatan IUP-OP CV BTP telah selesai diperpanjang,” tandasnya.
Mediasi pun dilakukan dan dicapai kesepakatan pada 30 September 2024 yang intinya, kesepakatan mengacu pada No. 010/PJBBB/AGM-SBA/VII/2024. Lalu, pengiriman batu bara harus dilaksanakan dalam waktu 30 hari. Serta tongkak pertama sebanyak 7.500 MT sudah dibayarkan Rp 13 miliar. Dan, RAM sebagai penjamin dan diberikan prioritas dari hasil pekerjaan tambang
“Permasalahan hukum antara PT AGM dan PT SBA murni perdata, di mana permintaan dipenuhi ketika IUP-OP CV BTP telah selesai diperpanjang,” tegasnya.
Sayangnya, masalah justru semakin panjang karena PT SBA membuat laporan di Polda Kalsel, di mana RAU, ATR, dan RAM sebagai Terlapor. Ketiganya telah diperiksa sebagai saksi dan RAU ditetapkan sebagai tersangka.
Hingga berita ini diturunkan, Kabareskrim Polri mengatakan, akan menindaklanjuti kasus tersebut. (RN)














































