Jakarta, innews.co.id – Emansipasi perempuan Indonesia semakin baik dari hari ke hari. Sayangnya, belum merata. Terkhusus di pedesaan, masih kuatnya budaya patriarkhi dan stigma konco wingking (teman di belakang) bagi kaum perempuan, menjadi ganjalannya.
Data Badan Pusat Statistik pada Februari 2024 lalu, jumlah penduduk Indonesia mencapai 275,7 juta jiwa, terdiri dari 139,3 juta orang laki-laki dan 136,3 juta orang perempuan. Jumlah perempuan yang hampir berimbang dengan laki-laki memberi peluang besar meningkatnya kesetaraan gender dan partisipasi perempuan di berbagai aspek kehidupan.

“Istilah ‘konco wingking’ di perkotaan sudah mulai luntur. Namun di pedesaan pandangan itu masih kuat. Perempuan masih sering dianggap cukup jadi pengurus rumah, tidak perlu sekolah tinggi, apalagi punya karier. Padahal setiap orang, baik laki-laki maupun perempuan punya hak dan potensi yang sama untuk berkembang,” kata Ketua Umum Business and Professional Women (BPW) Indonesia, Dr. Ir. Giwo Rubianto Wiyogo, M.Pd., dalam keterangan persnya memperingati Hari Kartini 2025, di Jakarta, Senin (21/4/2025).
Giwo Rubianto menegaskan, untuk mengikis stigma itu kita butuh pendekatan yang komprehensif. Pertama, lewat edukasi sejak dini, di rumah dan di sekolah. Anak-anak harus dibiasakan melihat perempuan dan laki-laki dalam kesetaraan, baik dalam peran, tanggung jawab, maupun kesempatan. Disini peran orangtua dan guru dengan selalu menunjukkan kesetaraan antara anak laki-laki dan perempuan.
Kedua, tokoh masyarakat maupun tokoh agama di daerah perlu dilibatkan untuk menyuarakan pentingnya kesetaraan dalam peran perempuan. Suara mereka sangat berpengaruh dalam membentuk cara pandang masyarakat.
Ketiga, program pemberdayaan perempuan juga harus menjangkau daerah-daerah pelosok, seperti pelatihan keterampilan, akses modal usaha, dan pendampingan. “Ketika perempuan di desa bisa mandiri dan sukses, mereka jadi bukti hidup bahwa perempuan itu mampu. Dan yang tidak kalah pentingnya, perempuan juga harus saling mendukung, bukan saling menjatuhkan. Karena perubahan tidak cukup dari luar, tapi juga harus dari dalam diri kita sendiri,” seru Ketua Umum Pita Putih Indonesia (PPI) ini.
Banyak tantangan
Lebih jauh Vice President of International Council of Women (ICW) mengakui, tantangan perempuan masa kini sangat kompleks. Selain masih menghadapi ketimpangan gender dalam dunia kerja dan akses kepemimpinan, perempuan juga harus menghadapi beban ganda seperti berkarir sambil mengurus rumah tangga.

Tantangan lainnya, sambung Giwo, adalah akses terhadap pendidikan dan kesehatan yang belum merata, terutama di daerah tertinggal.
Bahkan, menurutnya, di era digital pun perempuan masih rentan terhadap kekerasan berbasis gender online. Ini semua membutuhkan pendekatan yang komprehensif untuk menciptakan lingkungan yang benar-benar setara dan mendukung.

Karenanya, masih banyak pekerjaan rumah yang harus dilakukan, termasuk oleh pemerintah. “Tapi kuncinya adalah kebijakan yang pro-perempuan. Misal, akses pelatihan kerja, bantuan modal usaha bagi perempuan UMKM, program pendidikan yang menjangkau daerah pelosok, sampai aturan yang memberi jaminan soal cuti melahirkan, upah yang setara dan lingkungan kerja yang ramah keluarga. Pemerintah juga dapat membuat kampanye kesetaraan yang lebih luas supaya masyarakat makin sadar pentingnya peran perempuan,” urainya.
Terkait fenomena banyaknya perempuan di kota besar yang lebih memilih karir daripada menikah, Giwo beranggapan hal tersebut tidak harus dikhawatirkan. Sebab, itu bagian dari pilihan hidup setiap orang. “Yang penting perempuan tetap punya ruang buat memilih dengan bebas dan tetap dihargai,” tukasnya.
Kepada perempuan Indonesia, Giwo Rubianto berpesan untuk tidak ragu bersuara dan melangkah. “Kita semua punya peran penting, di mana pun berada. Terus belajar, terus tumbuh, dan jangan lupa saling rangkul sesama perempuan. Kita tidak sendiri. Dan bila bersama tentu suara kita bisa lebih besar. Ingat, semangat Kartini itu bukan cuma tentang masa lalu, tapi tentang langkah kita hari ini dan besok,” pungkasnya. (RN)