Pengamat: Ekspor Pasir Laut Berafiliasi Dengan Poros Politik Tertentu

Jakarta, innews.co.id – Sudah menjadi rahasia umum, banyak mafia yang bermain dibalik ekspor pasir laut. Belum lagi dampak negatif terhadap ekologi dan ketidakseimbangan alam. Kepulauan Riau merupakan salah satu daerah yang paling terdampak dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah No. 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi Laut.

“Selama ini penambangan pasir laut ilegal masih terjadi. Pemerintah nampaknya tutup mata dengan hal itu. Keluarnya regulasi itu membuat para mafia ekspor pasir laut semakin menjadi-jadi,” kata Ahmad Zazali SH MH, pengamat hukum dari Managing Partner AZ Law Office & Conflict Resolution Center, kepada innews, Kamis (08/06/2023).

Dirinya mengaku, pemain bisnis pasir laut di Kepulauan Riau adalah perusahaan yang berafiliasi dengan poros politik tertentu. Sehingga bila sekarang dibuka, diduga kuat berhubungan dengan dana suksesi politik. “Bisa jadi sengaja dibuka agar bisa memperoleh cuan yang cepat untuk suksesi politik 2024 nanti,” ujarnya.

Menurutnya, penambangan pasir laut dapat menghasilkan cuan paling cepat dibanding jenis tambang lainnya. Konon kabarnya, sudah ada dana yang masuk, entah itu ke kementerian atau lainnya sehingga terkesan regulasi ini dipaksakan untuk keluar. “Mungkin Presiden Jokowi tidak sadar akan hal itu bahwa dirinya tengah dimanfaatkan oleh sekelompok orang di lingkaran kabinetnya yang bekerja sama dengan mafia ekspor pasir laut,” tukas Ahmad yang pada 2002 silam pernah mengadvokasi kasus pasir laut di Kepri ini.

Dikatakannya, penambangan pasir laut di Kepri begitu massif karena memang wilayahnya kepulauan jadi memungkinkan untuk diambil pasir lautnya. Ditambah lagi, banyak pelabuhan-pelabuhan tikus yang memungkinkan untuk membawa pasir laut tanpa ketahuan. Kalau pun ketahuan, bisa cincai dengan petugas di lapangan.

Ahmad mengingatkan, pemerintah untuk berhati-hati jangan sampai mengulang peristiwa 20 tahun lalu, di mana kerukan tambang pasir justru menyebabkan pengikisan daratan dan sejumlah pulau kecil di Kepri hampir tenggelam.

Dia mencontohkan, di Kuala Teladas Kabupaten Tulang Bawang, Lampung, pengerukan pasir laut dengan alasan pendalaman alur kapal menyebabkan nelayan setempat sulit menangkap ikan dan habitat kepiting rajungan rusak gara-gara aktifitas aktifitas tersebut.

Baginya, saat ini pemerintah benar-benar spekulatif. “Ini memperbesar potensi risiko terhadap pesisir dan laut kita. Belajar dari kejadian 2002/2003 di Kepri. Izin-izin yang dikeluarkan banyak yang tumpang tindih, pengawasan sangat lemah serta kuota pasir laut tidak ada yang bisa kontrol aktifitas ditengah laut. Kalau hanya pengawasan dan penentuan kuota secara administratif itu gampang diakalin,” tukasnya. (RN)

Be the first to comment

Tinggalkan Balasan