Perspektif Bisnis dan HAM Kasus Rempang Eco City

Ahmad Zazali, Ketua Pusat Hukum dan Resolusi Konflik (PURAKA)

Oleh: Ahmad Zazali, SH., MH.
Ketua Pusat Hukum dan Resolusi Konflik (PURAKA)

TEPAT hari penutupan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ke-43 ASEAN pada 7 September 2023 oleh Presiden Joko Widodo di Jakarta Convention Center (JCC), publik dibuat heboh oleh kabar bentrokan antara warga kampung Melayu Tua di Pulau Rempang, Kota Batam, Kepulauan Riau, dengan ribuan aparat gabungan dari Satuan Polisi Pamong Praja dan Kepolisian Daerah Kepulauan Riau serta dibantu oleh TNI AL Batam.

Bentrok ini terjadi sehubungan dengan penolakan masyarakat atas rencana pengukuran dan pemasangan patok batas lahan yang akan digunakan sebagai lokasi Proyek Rempang Eco City. Demonstrasi besar kembali terjadi pada 11 September yang berakhir dengan pelemparan Kantor Badan Pengusahaan (BP) Batam.

Investasi Tiongkok

Rempang Eco City merupakan merupakan salah satu Program Strategis Nasional 2023 yang diluncurkan pada 12 April 2023 di Jakarta oleh Menteri Koordinator Ekonomi Airlangga Hartanto, Wakil Menteri ATR/BPN Raja Juli Antoni, Gubernur Kepulauan Riau, dan Ketua BP Batam, serta turut dihadiri pula Pemilik Artha Graha Group Tommy Winata. Kemudian, proyek ini diperkuat Peraturan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Nomor 7 Tahun 2023 yang disahkan pada 28 Agustus 2023. Luas lahan yang akan digunakan sekitar 17.000 hektar yang mencakup seluruh Pulau Rempang dan Pulau Galang, dengan tujuan untuk membangun kawasan industri, perdagangan, dan tempat wisata terintegrasi yang ditujukan untuk mendorong daya saing dengan Singapura dan Malaysia.

Menurut informasi dalam situs Badan Pengusahaan (BP) Batam, Proyek Rempang Eco City akan digarap oleh rekanan BP Batam dan Pemerintah Kota Batam yaitu, PT Makmur Elok Graha (MEG). PT MEG berfungsi membantu pemerintah menarik investor asing dan lokal untuk pengembangan ekonomi di Pulau Rempang. Target investasi dalam proyek ini direncanakan mencapai Rp 381 triliun dan menyerap tenaga kerja hingga 306.000 orang pada 2080.

Untuk memulai operasional proyek tersebut, Pemerintah menargetkan pada 28 September 2023 sudah terlaksana pengosongan atau sudah clear and clean, lalu akan diserahkan kepada PT MEG. Menurut paparan Menteri Koordinator Hukum dan Hak Asasi Manusia Mahfud MD ketika merespon peristiwa bentrokan pada 7 September, menyatakan bahwa pada 2001-2002 pemerintah telah mengeluarkan surat keputusan yang pada pokoknya memberikan Hak Guna Usaha (HGU) kepada perusahaan. Namun, tanah tersebut belum sempat dikelola oleh perusahaan, dan pada tahun 2004 Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menerbitkan beberapa surat izin penggunaan pada pihak lain, sehingga membuat masalah semakin rumit.

Digesanya relokasi penduduk Rempang dikarenakan telah ada investor yang akan masuk yaitu, perusahaan Xinyi Glass dari Tiongkok, berupa hilirisasi industri kaca dan panel surya. Kepastian didapat setelah pada 28 Juli 2023 ditandatangani Memorandum of Understanding (MoU) antara Menteri Investasi dan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BPKM) dengan Xinyi Glass yang disaksikan langsung oleh Presiden Joko Widodo.

Riwayat Kampung Tua

Sementara menurut warga yang ikut demonstrasi menentang rencana Rempang Eco City, bahwa proyek ini akan memberikan dampak pada penggusuran terhadap 16 Kampung Melayu Tua di Pulau Rempang dan Pulau Galang yang sudah dihuni warga sejak ratusan tahun lalu atau sebelum Indonesia Merdeka. Fakta ini menunjukkan bahwa keberadaan warga Melayu Tua jauh sebelum pemerintah membentuk Otorita Batam (OB) atau BP Batam pada tahun 1971.

Bukti keberadaan masyarakat Melayu Tua di Pulau Rempang dan Pulau Galang tercatat dalam arsip Belanda dan Kesultanan Riau Lingga. Hal tersebut, dimuat dalam catatan Elisha Netscher dalam Beschrijving van Een Gedeelte Der Residentie Riouw (1854), yang menyebutkan ada 18 pabrik pengolahan gambir (bangsal) di Kepulauan Riau tahun 1848. Di antaranya ada di Galang, Sembulang, Duriangkang, dan Mukakuning. Pemilik bangsal gambir ini adalah orang Tionghoa. Tidak hanya gambir, perkebunan lada juga ada di wilayah Galang dan Rempang, serta Batam.

Kemudian tahun 1861, Yang Dipertuan Muda (YDM) Riau X, Raja Muhammad Yusuf atas nama Sultan Riau Lingga dan disetujui Residen Belanda di Tanjungpinang mengeluarkan plakat, memberikan izin kepada tauke Tionghoa untuk membuka ladang gambir di Pulau Cembul, Pulau Bulang dan wilayah lain di Batam. Plakat itu menjadi dasar legalitas lahan untuk perkebunan.

Ada dua kelompok masyarakat yang mendiami Rempang-Galang sejak abad ke-19 tersebut. Pertama, masyarakat Melayu dan Tionghoa. Masyarakat Tionghoa menjadi tauke gambir, lada dan ikan. Sementara, masyarakat Melayu banyak bekerja sebagai nelayan serta pekerja di perkebunan gambir dan lada.

Kedua, masyarakat adat yang mendiami Pulau Rempang-Galang, yakni Orang Darat dan Orang Laut. Orang Darat mendiami daerah Kampung Sadap di Rempang Cate. Sementara, Orang Laut mendiami daerah pesisir Rempang-Galang dan pulau-pulau sekitarnya (Arman, 2023).

Pasca bubarnya Kesultanan Riau Lingga tahun 1913, seluruh daerah Riau – Lingga, termasuk Rempang- Galang diakui tunduk di bawah Pemerintahan Hindia Belanda. Pasca Indonesia merdeka, wilayah Rempang-Galang masuk dalam wilayah Kecamatan Bintan Selatan, Kabupaten Kepulauan Riau. Saat terbentuknya Kotamadya Batam tahun 1983, wilayah Rempang-Galang bergabung dan berpisah dari Kabupaten Kepri, dan saat ini berada di dalam wilayah Kecamatan Bulang dan Galang di Kota Batam.

Perspektif Bisnis dan HAM

Beranjak dari landasan yuridis dan faktor kesejarahan penguasaan lahan atau tenurial oleh masyarakat yang panjang di atas, maka tidak ada pilihan lain bagi pemerintah pusat, daerah dan aparat keamanan untuk mengedepankan penyelesaian konflik proyek Rempang Eco City ini dengan pendekatan yang humanis dalam bingkai penghormatan terhadap Hak Asasi Manusia (HAM).

Bentrok yang terjadi pada 7 September lalu tidak boleh terjadi, karena kasus ini memiliki irisan yang kuat dengan upaya pemajuan Hak Asasi Manusia (HAM) yang sering disuarakan Pemerintah Indonesia dalam berbagai forum internasional. Jika dicermati lebih jauh, maka konflik Rempang Eco City akan berkaitan dengan kepatuhan terhadap prinsip HAM sebagai bagian dari etika bisnis yang tertuang dalam United Nations Guiding Principles on Business and Human Rights (UNGPs) atau Prinsip-Prinsip Panduan PBB tentang Bisnis dan HAM yang disahkan Komisi HAM PBB pada 2011.

UNGPs meletakkan tiga pilar bisnis dan HAM yaitu, tugas negara untuk melindungi HAM, tanggung jawab korporasi untuk menghormati HAM, dan kewajiban negara dan korporasi untuk menyediakan akses bagi korban untuk mendapatkan pemulihan dari dampak pelanggaran HAM.

Dengan demikian, bahwa peran negara untuk melindungi HAM harus diwujudkan dengan memastikan agar proyek Rempang Eco City tidak memberikan dampak negatif pada hilangnya hak asasi masyarakat atas rasa aman, sumber penghidupan yang layak, tempat tinggal, pendidikan, kesehatan dan hak atas perlakuan yang adil secara hukum. Negara juga perlu memastikan agar korporasi mematuhi hak asasi yang melekat pada warga Rempang tersebut.

Sementara akses pemulihan bagi warga Rempang yang terkena dampak, termasuk akibat bentrok pada 7 September haruslah menjadi tanggung jawab negara, antara lain melalui Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM). Dasar klaim masyarakat Rempang atas sejarah penguasaan lahan yang telah ratusan tahun lamanya haruslah dilindungi dan dihormati layaknya pemerintah memberikan perlindungan dan penghormatan atas keputusan memberikan hak kepada korporasi yang akan mengelola investasi di proyek Rempang Eco City. Dialog yang setara untuk saling mendengarkan kepentingan masing-masing, dan mencari solusi yang berkeadilan dan berkemanfaatan harus dikedepankan, serta pendekatan represif dan kekerasan harus dihilangkan. ®

Be the first to comment

Tinggalkan Balasan