Solusi Pro Kontra Pasal Karet di UU ITE

Dr. H. Joni, SH., MH., Notaris, Pengurus Pusat Ikanot (Ikatan Notaris) Universitas Diponegoro, Dosen Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Habaring Hurung Sampit Kalimantan Tengah

Oleh : Dr. H. Joni, SH., MH*

BERBAGAI reaksi, bernada pro dan kontra atau keraguan terhadap keinginan Presiden Jokowi sebagai kepala pemerintahan
muncul berkenaan dengan perubahan terhadap Undang-Undang No. 19 Tahun 2016 Tentang Perubahan Atas Undang Undang No. 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik ( UU ITE).

Dalam bahasa demokrasi, perbedaan pendapat itu sah-sah saja dan menyuburkan serta merupakan dinamika demokrasi. Namun, ketika pengaturan terhadap masalah ini cenderung keras, tentu ada yang perlu diadakan revisi. Dalam perspektif norma hukum, sekurangnya ada 9 (sembilan) interpretasi yang memang dapat dijadikan sebagai semacam panduan untuk memberi makna secara operasional terhadap ketentuan yang dipandang sebagai pasal karet dalam UU dimaksud. Interpretasi demikian secara praktis, pada akhirnya tergantung kepada kepentingan dari yang membuat interpretasi, dan kesemuanya logis serta rasional.

Pasal karet merupakan sebutan terhadap ketentuan pasal yang tidak mempunyai ukuran tegas terhadap interpretasinya. Ketentuan tidak mengandung interpretasi tunggal, tetapi mengandung multiinterpretasi sehingga tidak mempunyai daya kepastian hukum yang berimplikasi kepada ketidakadilan. Manakala ketentuan dalam suatu UU diterapkan kepada satu peristiwa hukum, pasal karet banyak dijumpai pada ketentuan pasal yang berhubungan khususnya dengan peristiwa politik, atau bergesekan dengan pemegang kekuasaan.

Pasal dalam UU ITE

Dari sisi sumbu atau penyebabnya, sebutlah wacana untuk mengadakan perubahan terhadap ketentuan pasal dalam UU ITE itu muncul dari pernyataan dan pertanyaan sejumlah tokoh yang mengaku khawatir untuk mengkritik pemerintah karena keberadaan para buzzer. Belum lagi, masyarakat yang mengkritik tidak terlepas
dari bayang-bayang hukuman pidana UU ITE karena rawan dilaporkan ke polisi.

Pada satu sisi ada yang menyebut bahwa pemerintah reaksioner terhadap pernyataan para tokoh tentang kekhawatiran terhadap UU ITE. Di antaranya dari Jusuf Kalla (JK) yang berujar tentang bagaimana caranya bisa mengkritik pemerintah tanpa harus takut ditangkap. Hal ini kemudian yang mengundang tanggapan dari presiden yang bersifat reaksioner dimaksud. Padahal, sejatinya secara yuridis UU ITE telah direvisi, tetapi faktanya masih mengandung kritik yang berkaitan dengan pasal yang ada di dalamnya. Khususnya ketika kritik dialamatkan kepada pemegang kekuasaan.

Ketentuan pasal yang dinilai sebagai pasal karet itu adalah tentang penghinaan dan/atau pencemaran nama baik yang diatur dalam Pasal 27 ayat 3 UU ITE. Secara umum, baik sebelum maupun setelah direvisi, Pasal 27 ayat 3 UU ITE ini tetap dinilai masih membatasi kebebasan berpendapat atau berekspresi bagi warga
negara. Pasal ini sering dipandang orang memilih bungkam atau self censorship atas kondisi sosial politik yang ada di masyarakat. Kendati pun itu secara obyektif merupakan refleksi penyimpangan atau ketidakadilan.

Secara umum, masyarakat menjadi takut untuk bersuara mengenai penyimpangan atau ketidakadilan yang terjadi disekelilingnya dan berteriak terhadap pelanggaran yang dilakukan penguasa karena khawatir dianggap penghinaan atau pencemaran nama baik, khususnya terhadap pemegang kekuasaan dimaksud.

Secara umum ada penilaian bahwa ketentuan pasal tersebut juga dianggap sebagai pasal yang bertentangan dengan hakikat kebebasan berpendapat yang dijamin dalam Pasal 28e ayat 3 UUD 1945 yang isinya bahwa setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.

Tidak Sejalan Perkembangan Teknologi Internet

Sebagai sebuah Undang-Undang yang diberlakukan terhadap seluruh warga negara, memang tidak seluruh publik sepakat dengan UU ITE ini, baik sebelum maupun setalah direvisi. Hal ini wajar. Namun demikian, sebagian pihak menilai keberadaan UU ini penting sebagai filter dengan pertimbangan jumlah pengguna internet di Indonesia yang terus meningkat dengan berbagai problematika yang cenderung melanggar hukum.

Para pengguna ini tentu saja membutuhkan batasan untuk menjamin kenyamanan dan keselamatan setiap pengguna dan warga
lainnya yang menjadi obyek sajian dalam media internet dimaksud.

Pasal 27 ayat 3 UU ITE menyebut melarang setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik. Interpretasi terhadap ketentuan pasal ini, yang biasa disebut sebagai pasal karet, sebagai UU yang riskan dengan penerapan yang menjerat, terlebih jika diterapkan oleh pihak-pihak yang tak paham soal dunia maya. Selain itu, pasal tersebut juga bisa digunakan dengan mudah untuk menjerat orang-orang demi membungkam kritik, khususnya terhadap pemegang kekuasaan dimaksud.

Menurut pihak pemegang kekuasaan, sebagaimana disampaikan oleh Menkominfo bahwa ketentuan sebagaimana disebut pada Pasal 27 ayat 3 itu tidak mungkin dihapuskan. Sebab efek jera terhadap para pelanggar hukum akan hilang. Ketentuan itu dimaksudkan sebagai upaya untuk melindungi transaksi elektronik, khususnya di dunia maya. Hanya dalam praktiknya sering terjadi kesalahan. Jadi yang salah bukan Pasal 27 ayat 3-nya, melainkan penerapan dari Pasal 27 ayat 3 itu.

Akibat kesalahan penerapan tersebut, dalam catatan pemerintah sekurangnya akhir-akhir ini ada 74 orang telah menjadi korban dari UU ITE tersebut. Oleh karena itu, revisi memang salah satu solusi agar tidak lagi ada korban akibat salah penerapan pasal. Namun secara yuridis sebagai solusi sementara sebelum ada revisi secara permanen adalah dengan memberikan penekanan terhadap interpretasi yang lunak. Lunaknya penafsiran ini khususnya harus dijadikan pedoman oleh penegak hukum ketika menerima pengaduan terhadap masalah yang akan dikenakan ketentuan dalam pasal UU ITE dimaksud. ***

* Penulis adalah Notaris, Doktor Kehutanan Unmul Samarinda, Pengurus Pusat INI (Ikatan Notaris Indonesia) Universitas Diponegoro, Dosen Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Habaring Hurung Sampit Kalimantan Tengah

Be the first to comment

Tinggalkan Balasan