Jakarta, innews.co.id – Tudingan Ketua Umum Partai Demokrat, Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) yang menyebut ada orang di lingkaran Presiden Jokowi yang ingin mengkudeta partainya dipandang sebagai upaya menggali simpati publik. Bahkan, ada yang mengatakan, AHY terlalu baperan (bawa perasaan). Kejadian ini persis seperti yang dilakoni SBY, di awal-awal mendirikan Demokrat, dimana memposisikan diri seolah terzalimi.
“Penyebutan kudeta tidak tepat, bahkan terkesan lebay. Karena istilah itu biasanya digunakan dalam pengambilalihan secara paksa Kepala Pemerintahan (Presiden),” ujar Teddy Mulyadi, pengamat sosial dan politik dalam rilisnya, Selasa (2/2/2021).
Bagi Teddy, jauh lebih pas bila AHY mengatakan ada oknum yang ingin menggoyang posisinya di Partai Demokrat.
Teddy menambahkan, sikap AHY yang menyurati Presiden Jokowi terkait hal ini terkesan berlebihan dan terlalu mengada-ada.
“Saat ini Pemerintahan Jokowi mempunyai dukungan yang solid dan kuat di parlemen. Artinya, tak ada untungnya bagi Presiden Jokowi mengintervensi PD, apalagi mengkudeta. Presiden Jokowi tidak kurang kerjaan, apalagi di masa pandemi dan ekonomi yang belum pulih. Presiden fokus pada kewajibannya untuk bekerja bagi bangsa dan negara. Lagian, ini adalah periode ke-2 Presiden Jokowi, tidak ada urgensinya ngurusin PD,” urainya.
Ditambahkannya, kalau pun Moeldoko bertemu dengan para tokoh PD di kediamannya, itu berarti pribadi sifatnya, tidak terkait dengan tugasnya sebagai Kepala Staf Kepresidenan (KSP).
“Sebagai pejabat Negara, Moeldoko tentu punya kesibukan fokus mengawal dan mensukseskan berbagai program strategis Presiden, tak ada relevansi kepentingan dengan PD,” tukas Teddy yang juga mantan aktifis Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM), sebuah ormas kemahasiswaan ini lagi.
Lebih jauh dia mengatakan, publik sudah sangat paham kalau situasi PD sedang “sakit” dan kurang solid. Salah satu penyebabnya, banyak mantan kader yang jadi penghuni hotel prodeo dan banyak juga yang loncat pagar.
“Apa yang dikatakan AHY kontradiksi dan terkesan sedang menggali simpati publik yang secara faktual terus tergerus dari Pemilu 2014 hingga Pemilu 2019. Dengan harapan, rakyat simpatik sebagai modal Pemilu 2024 nanti,” tandasnya.
Teddy menegaskan, “Kalau tak elok menari, jangan bilang lantainya terjungkat. Tapi bekerja kerasnya agar pandai menari”. (RN)
Be the first to comment