Jakarta, innews.co.id – Melestarikan hutan harus menjadi program utama Pemerintahan Prabowo Subianto, bukan sekadar omon-omon. Apalagi memakai istilah proyek strategis nasional (PSN) untuk menggerus hutan dan meniadakan hak-hak masyarakat adat.
Hal tersebut menjadi kritikan keras yang terlontar pada Peluncuran dan Lokakarya Panduan Ajaran Agama serta Buku Rumah Ibadah IRI Indonesia, yang diinisiasi oleh Interfaith Rainforest Initiative (IRI) Indonesia bersama PGI, di Grha Oikoumene, Jakarta, Jumat (15/8/2025).
Saat ini, Indonesia sebagai salah satu negara pemilik hutan tropis terbesar di dunia tengah menghadapi ancaman berupa deforestasi yang berdampak pada naiknya suhu global, bencana alam, dan kerusakan lingkungan yang masif.

“Bagi umat Kristen, merawat hutan bukan hanya kewajiban moral, melainkan panggilan iman,” kata Advisory Council IRI Indonesia-PGI, Pdt. Johan Kristantara.
Pencanangan net-zero deforestation pada 2030, menurutnya, sebuah proyek ambisius yang hanya akan tercapai jika semua pihak terlibat, termasuk gereja dan komunitas iman.
“Tanpa perubahan cara pandang dan kesadaran kolektif bahwa merusak hutan berarti merusak kehidupan. Atau dengan kata lain tanpa pertobatan ekologis, target itu akan menjadi slogan tanpa makna. Sebaliknya, dengan dukungan moral dan spiritual dari umat beriman, kita dapat berpegang pada pengharapan bahwa target itu bisa mewujud nyata,” ujarnya.

“Gereja dan rumah ibadah harus menjadi pusat teladan (center of excellence) dalam hal kepedulian ekologis. Dari mimbar khotbah, liturgi, dan pengajaran, kita bisa menanamkan nilai-nilai kepedulian ekologis,” seru Sekretaris Eksekutif bidang KKC PGI ini.
Di sisi lain, Fasilitator Nasional IRI Indonesia Hayu Prabowo mengatakan, saat ini dunia bergerak merespon persoalan lingkungan, termasuk Indonesia melalui gerakan eco-theology, yang membutuhkan masukan dari komunitas lintas agama.
Diakuinya, dalam kurun waktu beberapa tahun terakhir deforestasi meningkat, terutama terjadi di Sumatera, Kalimantan, dan akan berlanjut ke Papua. Situasi ini sangat mengkhawatirkan dan jika tidak direspon secara cepat dan tepat akan sangat berbahaya.

“Bagi IRI, pemuka agama, tokoh dan umat berperan penting dalam memberikan pengajaran tidak saja di level atas, melainkan ke jemaat. Dengan begitu gereja bisa menjadi agen penggerak ke jemaat dalam memelihara lingkungan,” serunya.
Ketua Umum PGI, Pdt. Jacky Manuputty menegaskan bahwa hutan yang menjadi lumbung pangan bagi banyak komunitas telah berubah menjadi lubang tambang. Seperti di Papua, Maluku, Maluku Utara dan lain-lain. Semua tiba-tiba menjadi gersang. Kita kehilangan memori kolektif dan keguyuban sosial yang ada sejak turun temurun.
Karenanya, PGI menjadikan krisis ekologi menjadi isu besar di antara beberapa isu krisis yang ditangani. Termasuk dalam periode sekarang ini juga krisis ekologi tetap diangkat untuk menjadi concern dan melihatnya sebagai tantangan yang sangat serius.
“Agama punya suara moral, tapi itu saja tidak cukup karena ada moralitas lain di atas itu yang menavigasi perjalanan bangsa ini yaitu moralitas kerakusan, moralitas ekstraktif, mengambil sebanyak-banyaknya,” ujarnya kritis.
Menurutnya, perilaku tersebut yang menantang kita saat ini untuk berdiri bersama dalam sebuah gerakan advokasi lingkungan yang sangat konkrit. Kalau gereja-gereja atau mimbar dipakai hanya untuk berbicara tentang Surga dan membiarkan dunia atau bumi menjadi rusak, maka mimbar itu menjadi tidak relevan,” tukasnya.
Untuk menghadapi persoalan dan tantangan terkait krisis ekologis tidak hanya membutuhkan suara, tapi juga nyali profetis untuk bertindak. Kita bisa bergerak bersama-sama karena merawat bumi adalah panggilan bersama lintas agama.
Lokakarya menghadirkan narasumber, Pdt. Shuresj Tolaluweng (Kepala Biro Pengurangan Risiko Bencana PGI), Timer Manurung (Chairman of Auriga Nusantara), dan Erasmus Cahyadi (Wakil Sekjen AMAN bidang Politik dan Hukum). (RN)









































