Jakarta, innews.co.id – Rencana revisi UU Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat yang telah masuk dalam program legislasi nasional (Prolegnas) 2026 DPR RI, disambut baik oleh advokat senior Denny Kailimang.
“UU Advokat sudah tidak berfungsi sebagaimana mestinya. Banyak pelanggaran terjadi, tetapi tidak diberi sanksi, melainkan dibiarkan sehingga menimbulkan kekacauan dalam profesi advokat,” kata Denny, di Jakarta, Rabu (15/10/2025).
Munculnya puluhan organisasi advokat (OA) menjadi salah satu sinyalemen kekacauan. Menjamurnya OA juga lantaran mendapat pengesahan dari pemerintah. Dengan kata lain, pemerintah menjadi salah satu biang kerok kekacauan tersebut.
Baginya, OA merupakan satu-satunya wadah advokat yang bebas dan mandiri, yang salah satu tujuannya adalah meningkatkan kualitas advokat. Namun, karena Pengadilan Tinggi sudah tidak menjalankan sesuai regulasi yang ada, maka dibiarkan banyak OA bisa mengadakan PKPA, UPA, dan penyumpahan.
“Revisi UU Advokat harus secara tegas memuat sistem yang dianut di Indonesia. Namun, melihat fenomena yang ada, Indonesia tidak bisa lagi menganut single bar, melainkan multi-bar, hanya saja dengan persyaratan ketat,” ujarnya.
Dijelaskan, upaya membuat single bar sebenarnya telah diupayakan sejak lama. Salah satunya, ketika muncul Ikadin di tahun 1985. Kemudian di tahun 2004 lahir Peradi. Namun, 8 OA pendiri Peradi tidak mau membubarkan diri. Ini menjadi pangkal masalah yang berlarut hingga kini.
“Banyaknya OA jelas merupakan kerugian bagi para pencari keadilan karena kualitas advokat jadi rendah,” tegas Founder & Senior Partner Kantor Advokat Kailimang Ponto ini.
Syarat ketat
Karenanya, sambung Denny, meski multi-bar, tetap harus ada persyaratan yang harus dipenuhi sebelum membuka OA.

Denny mengusulkan dibuat ketentuan pendirian OA minimal harus memiliki kepengurusan minimal di 10-15 provinsi, 50 kepengurusan di tingkat kabupaten/kota, memiliki pusat bantuan hukum yang mendapat anggaran dari negara. Dibuat mirip seperti mendirikan partai politik.
OA yang telah memenuhi syarat tersebut nantinya juga akan masuk dalam Dewan Advokat Nasional (DAN), yang tugasnya lebih pada mengorganisir OA sesuai ketentuan perundangan yang berlaku.
Denny yakin, bila ketentuan itu dijalankan, maka jumlah OA akan terseleksi secara alami.
Perlindungan advokat
Hal penting lain yang harus dimasukkan dalam revisi UU Advokat terkait perlindungan kepada advokat. “Selama ini advokat masih menjadi anak tiri dari empat pilar penegak hukum yang ada. Hakim, jaksa dan polisi memiliki perlindungan profesi. Sementara advokat, meski katanya memiliki hak imunitas, tapi itu hanya diatas kertas saja, faktanya berbeda,” cetus Pendiri dan Sekretaris Komite, Jakarta Lawyers Club (JLC) ini.
Bagi Denny, kalau mau fair dalam penanganan perkara dan maksimal penegakan hukum, maka advokat pun harus diberi jaminan yang tegas dalam UU.
Dia mencontohkan, jaksa dan polisi diberi kewenangan untuk memperoleh dokumen-dokumen pihak-pihak yang berperkara dari pihak ketiga. Kalau tidak diberikan, akan mendapat sanksi. Advokat tidak demikian. Harusnya, advokat pun memiliki hak yang sama. Dan, barangsiapa yang tidak memberikan dokumen yang dibutuhkan, bisa dikenakan sanksi.
Dirinya berharap dengan revisi UU 18/2003, maka advokat dapat memberikan sumbangsih nyata terhadap penegakan hukum di Indonesia. Tidak seperti sekarang ini yang terkesan terkooptasi oleh karena pengkondisian tertentu.
“Saya berharap DPR bersama pemerintah bisa benar-benar menggali detail hal-hal penting dalam UU Advokat, sehingga kedepannya advokat bisa benar-benar terlindungi dalam menjalankan profesinya dan menjadi bagian dari pembangunan hukum nasional,” tukasnya. (RN)












































